“Minggu depan apakah saya boleh minta ijin selama 2 hari, Pak?” kata Putu, seorang karyawan saya penuh harap. “Tetangga saya di kampung akan menyelenggarakan upacara Potong Gigi, dan puncak acaranya hari Rabu minggu depan. Saya ingin pulang kampung, karena saya terikat adat di kampung saya,” lanjutnya kemudian.
“Baiklah,” kata saya, “tapi gaji Anda harus dipotong selama 2 hari libur Anda itu.” “Ya pak, saya memilih gaji saya dipotong, daripada saya disisihkan dari komunitas adat di desa saya,” katanya dengan berat hati.
Saya sering bertanya dalam hati, untuk siapa sebenarnya ikatan banjar atau desa adat di Bali ini? Untuk siapa orang Bali harus bersusah-susah mempertahankan tradisi adatnya? Apakah untuk memuaskan para wisatawan yang berkunjung ke pulau Dewata ini? Apakah untuk kebanggaan sebagai orang Bali? Atau, apakah semata karena takut disisihkan dari komunitas banjar adat atau desa adat?
Saya melihat banyak orang Bali melakukan kegiatan adat dengan penuh keterpaksaan dan ewuh pakewuh. Terutama mereka yang menggantungkan hidup mereka dari bekerja harian, yang tidak akan dibayar jika mereka libur atau tidak bekerja. Mereka harus meninggalkan pekerjaan sekaligus penghasilan mereka, karena ada keluarga atau anggota banjar adat yang punya hajatan seperti upacara potong gigi, ngaben, menikah, dan lain sejenisnya. Seringkali mereka harus ada atau hadir di tempat upacara, walaupun tidak melakukan apa-apa di sana.
Sebagai konsekuensinya, banyak diantara mereka yang tidak bisa memenuhi kebutuhan minimal bulanan mereka. Tidak bisa membayar cicilan motor, TV, dan alat elektronik standar yang ingin mereka miliki. Tidak bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah berkualitas. Tidak sempat menabung untuk masa depan, apalagi bisa berlibur ke luar negeri misalnya. Malah banyak diantara mereka yang akhirnya jatuh miskin dengan hutang yang meningkat dari waktu ke waktu, dan pada gilirannya harus merelakan tanah warisan mereka dijual untuk menutupi hutang-hutang mereka yang sudah menumpuk.
Saya pribadi sangat prihatin dengan keadaan ini. Saya sering membandingkan dengan teman-teman yang tidak kena ikatan adat (Bali) ini. Mereka seakan bebas menggunakan waktu mereka untuk berkonsentrasi dalam bekerja dan menghasilkan uang, menabung untuk masa depan, menyediakan pendidikan terbaik untuk anak-anak mereka, serta mengajak anak-anak mereka berlibur dan menambah wawasan ke luar negeri. Mereka tidak terlalu disibukkan dengan upacara-upacara yang terkadang datang beberapa kali dalam satu bulan.
Saya khawatir, jika keadaan ini berlanjut, orang Bali akan semakin tertinggal secara ekonomi dan juga pendidikan. Orang Bali akan mewariskan generasi yang tidak siap bersaing dalam kemajuan tekologi yang demikian pesat ini. Orang Bali hanya akan berkutat dengan tradisi yang mempersulit diri sendiri, memaksa teman dan saudara patuh dengan ikatan adat, dan menyisihkan mereka kalau berani melanggar.
Apa yang seharusnya dilakukan? Saya menginginkan ikatan adat yang ketat bisa dilonggarkan. Upacara-upacara keagamaan tetap dilaksanakan namun dengan penyederhanaan sampai tingkat maksimal, dan tidak mesti mewajibkan semua anggota adat untuk terlibat. Kalau mungkin upacara ngaben, potong gigi, nyambutin dilaksanakan secara massal atau kolektif dengan rentang waktu yang cukup lama, misalnya 10 tahun sekali. Ini akan memungkinkan kita sebagai orang Bali memiliki cukup waktu untuk berkonsentrasi bekerja dan meraih penghasilan yang cukup, dan pada gilirannya bisa menabung serta menyediakan pendidikan terbaik untuk anak-anak kita. Kita akan tetap bisa bersaing dengan teman-teman kita yang tidak kena ikatan adat, tanpa meninggalkan tradisi yang diwariskan oleh para Leluhur kita.
Ikatan adat Bali adalah untuk kita, bukan untuk siapa-siapa. Maka dari itu, kita harus membuatnya memudahkan hidup kita, bukan justru mempersulitnya…