Disiplin, Kunci Belajar Bahasa Inggris

Seorang murid dewasa datang menemui saya sore itu. Namanya Duraprana, 26 tahun belum menikah. Saya biasa memanggilnya Mas Dura. Ia menyatakan keinginannya untuk bekerja di Australia setelah siang harinya sempat mengunjungi sebuah kantor agen tenaga kerja yang katanya sering mengirim tenaga kerja ke luar negeri. Saya menanyakan bagaimana perkembangan Bahasa Inggrisnya saat ini, karena untuk bisa bekerja di Australia tentu diperlukan kelancaran berbahasa Inggris.

“Nah itulah masalahya, Pak, ”katanya. “Saat ini Bahasa Inggris saya boleh dibilang masih jauh dari lancar.”

“Kenapa begitu? Kan ikut lesnya sudah lumayan lama?”

“Ya, Pak, saya sangat jarang bisa datang untuk belajar di EC. Teman-teman seangkatan saya rata-rata sudah lancar dan bahkan banyak yang sudah berhenti les dan mendapat pekerjaan yang bagus.”

“Kenapa Mas Dura tidak bisa datang les?”

“Sepulang kerja, saya seringan merasa lelah. Kadang ada teman yang mengajak saya jalan-jalan, makan bersama, atau main bulu tangkis.”

“Kan jadwalnya bisa disesuaikan. Atur saja dengan CS kita.”

“Sudah sering Pak saya tukar-tukar jadwal, tapi tetap tidak bisa datang juga; sampai malu saya sama Miss-nya..” katanya sambil menoleh ke meja CS.

Saya menarik nafas sebentar, lalu menutup pintu kantor saya, menurunkan temperatur AC dan menyalakan lampu ruangan.

“Begini Dura, “saya mulai menguliahinya, “program kursus di EC itu disusun untuk bisa dikuasai selama dua bulan. Jika mengikuti dengan baik, banyak peserta yang sudah bisa menguasainya bahkan dalam empat atau lima pertemuan saja. Metode EC sudah diujikan bertahun-tahun dalam program kursus online carakita.com dan mendapat apresiasi yang begitu besar dari para peserta dari seluruh Indonesia.”

“Ya, saya tahu Pak. Teman-teman seangkatan saya buktinya. Mereka bisa menguasai Bahasa Inggris dengan sangat cepat.”

“Kenapa Mas Dura tidak bisa seperti teman-teman itu?”

“Untuk itulah saya datang menemui Bapak. Saya ingin minta nasehat Bapak, bagaimana agar saya juga bisa seperti teman-teman saya itu.”

“Ada tiga syarat utama agar bisa menguasai Bahasa Inggris dengan cepat di EC-english is easy, yaitu target yang jelas, keteraturan berlatih, dan kesinambungan.”

“Target yang jelas, artinya peserta telah menentukan kapan ia bisa menguasai Bahasa Inggris, dan bagaimana Bahasa Inggrisnya pada saat yang ditentukan itu.”

“Apakah Mas Dura sudah menentukan kapan harus bisa berbahasa Inggris?”

“Saya ingin bisa secepatnya Pak.”

“Nah, ini target yang belum jelas namanya. Mas Dura harus menentukan waktu yang spesifik, misalnya 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun atau 2 tahun dari saat ini. Setelah itu, bayangkan apa yang akan Mas Dura lakukan setelah menguasai Bahasa Inggris pada saat yang ditentukan itu, kebahagiannya,  kebanggaannya, atau hal-hal indah lainnya. Misalnya Mas Dura akan menonton film berbahasa Inggris setiap hari, jalan-jalan ke pantai Kuta dan berbicara dengan para tamu bule dengan lancar, atau bekerja di Australia seperti yang Mas katakan tadi. Bayangkan hal-hal indah itu sejelas-jelasnya sehingga tampak sebagai sesuatu yang nyata.”

“Bisa Pak. Saya sekarang targetkan saya harus sudah lancar berbahasa Inggris 2 bulan dari sekarang.”

“Baiklah, tapi Mas harus membuat target itu menjadi lebih nyata dengan menuliskannya besar-besar lalu memasangnya di dinding kamar, di kantor atau di tempat yang paling sering Mas lihat. Sementara Mas bisa gunakan kertas ini. Tulis misalnya seperti ini: “Saya Dura, lancar berbahasa Inggris tanggal 10 Januari 2017.”

“Tidak ada kata “akan”nya Pak?”

“Tidak, karena kalau diisi kata “akan” maka tetap akan menjadi akan – akan saja, tidak pernah menjadi kenyataan.”

“Bagaimana kalau dilihat oleh teman saya, apa nggak malu Pak?”

“Tidak usah malu. Anggap saja ini sebagai komitment atau janji yang sungguh-sungguh. Teman-teman Mas akan menjadi orang-orang yang selalu mengingatkan Mas untuk tetap datang ke tempat kursus, walaupun saat lelah sepulang kerja.”

“Ya benar juga Pak…. hehe, ”kataya sambil nyengir.

“Nah, setelah target menjadi sangat jelas, lanjutkan yang kedua: keteraturan berlatih. Pastikan bahwa Mas datang ke EC untuk bisa berlatih secara teratur 2 kali seminggu, sekaligus juga untuk mengecek perkembangan penguasaan Bahasa Inggrisnya. Selain itu, Mas juga harus rajin berlatih di rumah setiap pagi dan sore. Saya anjurkan Mas membuat semacam buku harian; tulis satu paragraf di pagi hari dan satu paragraf di malam hari. Semuanya menggunakan Bahasa Inggris yang sudah Mas pelajari selama ini.”

“Oh gitu ya Pak?”

“Ya, saya dulu juga melakukannya seperti itu. Saya selalu menulis di pagi hari dan di malam hari, setiap hari. Dan ulisan-tulisan itu masih saya simpan sampai sekarang.”

“Ya Pak, saya pasti melakukannya.”

“Terakhir yang ketiga, pastikan bahwa Mas melakukan itu secara kontinyu selama 2 bulan dulu. Jangan sampai lupa atau sengaja tidak melakukannya dengan berbagai alasan.”

“OK Pak, saya akan belajar dengan sungguh-sungguh mulai hari ini.”

Pemborong, Sebuah Kesalahan Memilih Profesi

Di sebuah sore di awal 2004, saya mendapat telpon dari seseorang yang ingin membangun rumah di daerah Kepaon, Denpasar Selatan. Ia mendapatkan nomor telpon saya melalui iklan yang saya pasang di koran Denpost. Kami janjian bertemu. Saya mengarahkan agar kami bisa bertemu di sekitar Denpasar, namun orang itu meminta agar bisa bertemu di rumah saya. Mungkin tujuannya untuk mengetahui kredibilitas saya, takut kalau-kalau saya penipu, hehe….

Pada waktu yang ditentukan, orang itu berhasil tiba di depan gang rumah saya setelah bertanya sana-sini, karena rumah saya memang berlokasi di sebuah gang kecil yang waktu itu masih ditumbuhi beberapa pohon besar di kanan kirinya. Ternyata ia tidak datang sendiri. Ia mengajak temannya yang seorang bule. Saya sedikit kebingungan, karena di rumah saya masih berantakan. Belum ada tempat duduk, dan lantai keramiknya banyak yang terkelupas, belum diflafond, dan tanpa pagar pula. Setelah berpikir sejenak, saya memutuskan untuk mengajak orang itu dan temannya masuk rumah pertama di gang saya yang saat itu kebetulan gerbangnya terbuka. Kami bertiga duduk di teras yang berkeramik, setelah permisi dengan berbisik kepada sang pemilik rumah.

Orang itu berasal dari Jawa Barat dan bekerja di Airport Ngurah Rai. Ia memiliki tanah kavling seluas satu are di Kepaon, dan teman bulenya yang belakangan saya tahu berasal dari Australia akan membuatkannya sebuah rumah di tanah itu. Mereka berniat membangun rumah type 36 tapi dengan beberapa perubahan desain serta menggunakan bahan dengan kualitas lebih bagus agar sedikit sesuai dengan standar bule itu, yang jika ke Bali nantinya akan tinggal di sana. Setelah berbincang agak lama, saya memberikan penawaran dan mereka ingin mempelajarinya terlebih dahulu. Kami bersepakat untuk bertemu tiga hari setelahnya.

Senja hari tiba. Matahari mulai redup dan menghilang perlahan di balik cakrawala. Deru angin muson Barat terdengar jelas dari cabang dan ranting lamtoro yang tumbuh tinggi mengitari rumah saya. Saya menutup pintu dan jendela yang tak bertirai. Titik air mulai menetes dari sela-sela genteng yang retak. Saya mengambil ember dan menaruhnya di lantai untuk menangkap tetesannya yang semakin lama sepertinya semakin deras. Istri saya menyiapkan makan malam seadanya, dan kami makan bersama.

Malam semakin larut. Tanpa sadar jarum jam sudah menunjuk angka 12. Saya berpindah duduk, karena tetesan air mulai terasa membasah di rambut saya. Saya masuk kamar dan memandangi istri dan kedua anak saya yang sudah tertidur pulas. Saya tercenung. Baru kali ini saya benar-benar sadar bahwa hidup saya dan keluarga sudah benar-benar parah. Saya baru menyesal mengapa saya meninggalkan pekerjaan hotel saya, yang seharusnya bisa membuat saya hidup mapan seperti beberapa teman saya. Saya telah membawa dan membiarkan keluarga saya terseret dalam pusaran utang yang tak kelihatan ujung dan pangkalnya.

Tiba-tiba saya teringat buku usang yang saya dapatkan di Legian tempo hari. Saya mengeluarkannya dari almari buku dan mencoba membacanya dengan penerangan sinar lilin, karena listrik sudah padam sejak tadi sore. Dan di tengah kalutnya pikiran saya, mata saya tertuju pada sebuah baris yang selama ini mungkin selalu terlewatkan. “Apakah Anda menyukai pekerjaan Anda?” demikian kira-kira terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.

Saya membacanya berulang-ulang seakan tak percaya. Ya, apakah saya menyukai pekerjaan saya? Apakah saya menyukai pekerjaan saya saat ini sebagai pemborong bangunan? Terdengar lolongan anjing di kejauhan. Saya mengambil selimut dan menutupi badan saya yang mulai terasa dingin. Apakah saya menyukai pekerjaan saya? Pertanyaan dari buku usang itu kembali menggema. Rupanya saya belum bisa menjawabnya dengan segera.

Saya melanjutkan membaca, dan akhirnya menemukan cara mengujinya. “Apakah Anda sering lupa waktu, jika sedang berada di tengah-tengah pekerjaan Anda? Apakah Anda sering sampai lupa makan karena keasyikan mengerjakan pekerjaan Anda? Jika jawaban Anda ya, maka Anda berada di jalur yang tepat,” demikian lanjutan kalimat itu, masih di paragraf yang sama. Saya mulai menanyai diri saya, dan sepertinya bisa menemukan jawabannya dengan cepat. Saya selalu merasa tidak nyaman ketika berada di proyek yang saya bangun. Apalagi saat beberapa tukang saya minta kas bon dan saya tidak memegang uang sepeserpun, saya ingin segera lari sejauhnya, hehe.…

Kokok ayam mulai terdengar dari pohon waru di depan rumah saya. Beberapa ayam tetangga memang tidur di sana. Entah mengapa tumben saya belum mengantuk, padahal sudah hampir jam 2 pagi. Deru angin sudah mulai berkurang dan hujan sepertinya sudah benar-benar reda, sementara listrik belum menyala juga. Saya melanjutkan membaca dan tak lupa mencatat di notes kecil yang selalu saya bawa ke mana-mana. “Sekarang bayangkan kalau Anda mempunyai uang sebanyaknya sehingga Anda bisa membeli apa saja yang Anda inginkan. Apakah Anda masih akan mengerjakan pekerjaan Anda yang saat ini?” demikian bunyi kalimat di paragraf selanjutnya.“ Jika ya, berarti Anda berada di jalur yang tepat.”

Saya menanyai diri saya lagi, dan tak perlu menunggu lama, saya segera jawab tidak. Saya senang melihat orang mendirikan bangunan dan merubah tanah kosong menjadi tempat tinggal yang indah dan nyaman, namun untuk menjadi pengusaha dan mendapatkan uang serta hidup dari usaha pemborong bangunan tidak pernah sekalipun menjadi impian saya.

Fajar mulai menyingsing. Saya meniup lilin dan merebahkan diri di atas tikar pandan yang saya duduki. Saya mencoba memejamkan mata, namun pikiran saya masih melayang. Saya mulai menimang-nimang pekerjaan apa yang akan memberikan jawaban ya atas ketiga pertanyaan di atas. Tiba-tiba saya teringat teman bule orang yang datang kemarin siang.

Bersambung……

Gold Quest, dan Mimpi Yang Tertunda

Awal tahun 2002, saya beralih profesi menjadi pemborong bangunan dan meninggalkan jabatan saya sebagai Front Office Manager di hotel The Chedi, Ubud (sekarang Alila Ubud). Harapan saya saat itu adalah agar bisa mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dan segera bisa bebas finansial.

Beberapa proyek rumah berhasil saya dapatkan dari memasang iklan di koran Bali Post dan Denpost. Saya mengajak beberapa saudara dari kampung untuk mengerjakan proyek-proyek itu. Beberapa rumah bisa selesai dengan cepat , namun beberapa ada yang molor sampai beberapa bulan. Saya tetap memasang iklan agar mendapatkan lebih banyak order. Pernah sekali waktu saya mengerjakan lima unit rumah sekaligus di lokasi berbeda dengan pemilik yang berbeda pula. Teman-teman hotel saya terheran-heran, karena melihat saya bisa menjalani profesi baru saya yang sebenarnya sangat jauh dari dunia perhotelan yang saya geluti sebelumnya.

Masalah mulai muncul, ketika saya mengambil beberapa proyek yang agak besar dengan harapan untung yang lebih besar. Karena kurang pengalaman, beberapa proyek molor jauh dari rencana, dan pemilik tidak mau menyelesaikan pembayaran sesuai terminnya. Saya harus menalangi pembayaran bahan dan tukang-tukang saya dengan meminjam uang di BPD Bali. Situasi semakin memburuk, karena beberapa pekerjaan tidak sesuai spesifikasi dan pemilik meminta pembongkaran dan pemasangan ulang.

Saya menambah frekuensi pemasangan iklan untuk mendapatkan proyek baru. Saya berhasil mendapatkannya, namun harganya sangat rendah. Saya menggunakan uang mukanya yang sekitar sepuluh sampai dua puluh persen dari nilai bangunan untuk menalangi sementara tagihan-tagihan di toko bangunan dan membayar tukang-tukang yang mengancam mogok. Uang muka ini jauh dari cukup, karena beberapa proyek sebelumnya akhirnya benar-benar mangkrak, dan pemiliknya mencari pemborong lain dengan tidak membayar sisa tagihan saya.

Saya benar-benar terpuruk. Utang saya di toko-toko bangunan semakin menumpuk. Setiap hari ada saja yang datang ke rumah saya untuk menanyakan pembayaran. Saya berusaha menemui mereka dan menjelaskan keadaan saya. Beberapa diantara mereka mau mengerti, namun beberapa mengancam akan membongkar rumah yang saya bangun atau melaporkan saya ke polisi. Sementara itu petugas dari Bank BPD Bali hampir setiap hari menelpon meminta saya mencicil pinjaman atau kalau bisa bunganya saja. Saya bahkan sudah diblacklist di Bank Indonesia karena tiga kali cek dan BG yang saya keluarkan tidak bisa dicairkan tepat waktu.

Di tengah keterpurukan saya, teman saya yang sudah lebih dulu berhenti dari hotel dan mulai menekuni bisnis MLM Gold Quest mengajak saya bergabung. Saya tertarik, karena kelihatannya sistemnya sangat mudah dan akan tetap bisa menghasilkan meskipun tidak dikerjakan lagi, bahkan bisa diwariskan pula. Saya mengambil dua unit menggunakan uang muka dari proyek baru saya yang lainnya..hehe, ini harapan saya agar nantinya bisa diwariskan kepada kedua anak saya. Saya sangat bersemangat mengerjakannya di sela-sela keterpurukan bisnis pemborong saya. Saya berpikir kalau utang-utang saya akan segera lunas dari aliran komisi yang dibayarkan downline saya. Bahkan saya berkhayal tidak lama lagi akan segera mencapai cita-cita saya untuk bebas finansial.

Saya berusaha mendekati beberapa teman saya dan mengajaknya bergabung. Namun dibalik dugaan saya, semua menyatakan sudah tahu bisnis ini dan ingin melihat saya sukses terlebih dahulu, baru mau bergabung. Ternyata saya yang kurang gaul. Gold Quest memang sudah hadir di Bali sekitar dua tahun sebelum saya bergabung. Beberapa orang mungkin sudah pernah menawarkannya kepada saya, tapi saya tidak menanggapinya. Setelah menjalaninya selama sekitar enam bulan, tidak satupun orang yang bisa saya buat bergabung menjadi downline saya. Saya mulai putus asa, ditambah keadaan bisnis pemborong saya yang bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. Saya mengalami dua kegagalan bisnis sekaligus.

Satu pagi di awal Oktober 2003, teman yang dulu mengajak saya bergabung di bisnis MLM Gold Quest  menelpon. Akhir bulan ini akan diadakan “Life Changing Boot Camp” di Bedugul. Ia mengajak saya bergabung dengan membayar sebesar Rp 1,5 juta, tapi akan dipinjami dulu oleh salah seorang leader Gold Quest sebesar Rp 1 juta. Jadi saya tinggal mengusahakan Rp 500 ribu saja. Saya benar-benar tidak punya uang waktu itu, namun saya begitu ingin mengikuti boot camp ini karena sesuai namanya “Life Changing” dan hidup saya memang pantas di”change”, hehe…

Saya bicara kepada istri saya untuk kalau mungkin meminta atau meminjam uang darinya. Ia marah besar dan mengatakan saya belum kapok juga. Saya akhirnya memutuskan untuk menarik tabungan pendidikan yang kami alokasikan untuk anak kami, karena berpikir bootcamp ini sangatlah penting. Transportasi dan lainnya saya bisa nebeng dengan teman saya.

Singkat kata, bootcamp dimulai. Hal terpenting yang saya dapatkan adalah “jika kita berpikir bahwa kita bisa mendapatkan sesuatu, maka kita benar-benar akan mendapatkannya.” Waktu itu satu per satu peserta disuruh maju ke panggung, meneriakkan sekeras mungkin apa yang ingin mereka raih dalam 5 tahun dari saat itu. “Saya bebas utangngngng……..” teriak saya sekerasnya sampai berguling-guling di atas panggung. Saya mengulangi teriakan keras itu sampai lebih dari sepuluh kali. Sampai akhirnya, saya merasakan sesuatu bergerak dalam alam bawah sadar saya. Saya merasakan sinar terang mulai memancari pikiran saya. Dan saya yakinkan bahwa lima tahun setelah bootcamp itu, saya sudah terbebas dari masalah utang saya.

Setelah bootcamp selesai, saya melakukan aktivitas saya seperti biasa. Saya melanjutkan proyek renovasi sebuah villa di kawasan Legian. Meskipun utang saya masih menumpuk, saya memiliki keyakinan bahwa lima tahun lagi utang-utang itu akan lunas semuanya. Saya bisa yakin seyakin-yakinnya, karena karisma pembina bootcamp seakan menyihir diri saya menjadi pribadi baru yang penuh percaya diri, walaupun situasi sulit tampak nyata di depan mata. Bootcamp itu benar-benar sesuatu, pikir saya.

Seminggu berlalu, saya tetap menjalani hari-hari seperti biasa. Sampai pada suatu sore, seorang tukang saya memanggil saya dan menunjukkan tumpukan buku di lemari kaca di sebuah ruangan besar yang sudah ditumbuhi rumput-rumput liar dan beberapa tanaman merambat lainnya. Saya menemui pemilik villa, dan menanyakan mau diapakan buku-buku itu. “Dibuang saja”, katanya, “karena tamu yang mengontrak sudah pergi beberapa bulan dan tidak akan kembali lagi.” “Boleh saya yang ambil, Bu?” kata saya, karena saya memang pencinta buku dari sejak saya sekolah dulu. “Tentu saja, kalau Pak Wayan mau,”katanya. Wah ini rejeki nomplok, pikir saya.

Esok harinya, saya membawa karung untuk tempat buku-buku itu. Total ada tiga karung besar dan saya bawa satu per satu dengan motor saya. Saban malam, saya sortir buku-buku itu, dan menaruh yang paling menarik di kamar tidur saya. Dan akhirnya saya menemukan sebuah buku usang berbahasa Inggris, yang mana setelah saya baca, saya menemukan “Rahasia Memiliki Daya Tarik Uang”. Ini benar-benar mukjizat dari bootcamp, pikir saya.

Bersambung…

Bahasa Inggris Adalah Penyelamatku

Saat bulan-bulan awal di bangku SPG, aku kerap dijadikan gurauan dan bahkan ejekan oleh beberapa teman dan kakak kelasku. Menurut mereka, aku ini terlalu kecil jika akan menjadi guru nantinya, dan akan dijadikan mainan oleh murid-muridku. Memang, jika dibandingkan dengan teman-teman sebayaku, saat itu aku termasuk kecil. Berat badanku saat masuk SPG sekira 37,5 kg, sedang tinggi badanku 145 cm. Gurauan ini sering membuat aku uring-uringan dan terkadang tak bisa tidur. Aku berpikir, jangan-jangan apa yang mereka katakan benar dan aku menjadi mainan murid-muridku saat aku mengajar nantinya. Siang-malam aku memikirkan ini, sampai suatu ketika aku hampir saja benar-benar memutuskan untuk berhenti sekolah dan kembali ke kampungku.

Setelah melewati berbagai pertimbangan, Tuhan akhirnya memberikan sinar terangnya sehingga aku mengurungkan niatku untuk berhenti sekolah. Aku tidak ingin mengecewakan banyak orang, terutama orang tua dan guru-guruku di SD dulu, yang dengan semangatnya menginginkan aku agar melanjutkan sekolahku setinggi-tingginya. Sejak memasuki semester 2, aku mulai rajin bergelayut di pintu kamarkostku, agar aku bisa sedikit bertambah tinggi; serta mulai makan agak banyak agar berat badanku bertambah pula. Aku tidak peduli lagi apakah aku akan menjadi guru atau tidak nantinya. Yang terpenting bagiku saat itu adalah menamatkan dan memiliki ijasah sekolah menengah atas.

Aku mulai memfokuskan pikiran dan waktuku ke 2 mata pelajaran saja, yaitu Matematika dan Bahasa Inggris. Aku mengurangi perhatianku ke bidang-bidang yang aku anggap tidak begitu penting, seperti Pedagogik, Didaktik Metodik, Psikologi, PKK, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Bali. Setiap hari aku meluangkan waktu cukup banyak untuk menguasai 2 bidang ini saja.

Untuk matematika, aku mulai membaca buku ensiklopedia Matematika yang aku pinjam dari perpustakaan sekolah dan melatih sendiri semua rumus-rumus yang ada di buku itu. Aku ingin menguasai Matematika secara menyeluruh, karena menurutku Matematika merupakan ilmu dasar yang sangat penting agar bisa menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi lainnya.

Dan untuk Bahasa Inggris, aku ingin paling tidak setamat SPG, aku bisa membaca dan mengerti buku-buku pengetahuan berbahasa Inggris yang saat itu ada beberapa di perpustakaan sekolah. Selain membaca buku Pelajaran Bahasa Inggris dari sekolah, aku berusaha mencari media lain untuk mempelajarinya. Aku tidak punya uang untuk ikut kursus dan tidak tahu juga kalau ada kursus Bahasa Inggris di Denpasar pada waktu itu.

Setelah mencari beberapa lama, akhirnya aku menemukan pelajaran Bahasa Inggris dari Radio Australia. Aku sangat senang dan membuat komitmen untuk mendengarkan dan belajar Bahasa Inggris setiap pagi pada jam 6.30 sebelum aku berangkat ke sekolah. Saat itu aku hanya memiliki sebuah radio kecil 2 band merek Senator yang  aku beli dengan uang dari Nenek saat akan menamatkan pendidikan SD dulu. Radio yang juga aku bawa saat tinggal di kost sewaktu SMP di SMP Negeri Bantas. Karena kecil dan tidak dari merek terkenal, ia tidak bisa menerima siaran Radio Australia dengan jelas, maka aku menambahkan kabel agar antenanya bisa lebih tinggi. Aku menyangkutkan ujungnya di salah satu cabang pohon rambutan yang tumbuh di depan kamar kostku. Ini sedikit membantu, walaupun siaran Radio Australia masih belum begitu jelas, terutama saat langit mendung disertai kilat, petir apalagi halilintar.

Sebagai bahan bacaan pendukung, aku berusaha mencari buku English from Australia yang diterbitkan oleh penerbit Sinar Harapan Jakarta. Aku bisa membelinya di Toko Buku Bharata yang sekarang menjadi toko buku Berata di jalan Kartini Denpasar. Aku membelinya lengkap jilid I dan II. Kehadiran siaran radio dan buku-buku ini sangat membantu usahaku menguasai Bahasa Inggris. Paling tidak aku sudah sedikit paham bagaimana cara-cara membuat kalimat sederhana Bahasa Inggris dan kelaziman-kelaziman penggunaannya dalam penulisan maupun pengucapan. Dengan belajar dan berlatih sendiri secara tekun dan kontinyu, aku yakin saat aku tamat SPG, aku akan bisa membaca dan menulis Bahasa Inggris dengan baik. Sedangkan untuk berbicara dan mendengarkan, aku harus berusaha lebih banyak lagi.

Tak dapat kubayangkan, bagaimana hidupku saat ini seandainya aku tidak berusaha dengan tekun mempelajari Bahasa Inggris saat itu. Setidaknya, Bahasa Inggris telah menyelamatkanku dua kali. Pertama, saat aku tidak diterima di FKIP UNUD Singaraja. Bahasa Inggris menyelamatkanku, karena aku bisa diterima masuk di PPLP Dhyana Pura dan langsung ditempatkan di hotel Kulkul. Kedua, saat usaha propertiku bangkrut setelah berhenti bekerja di hotel. Bahasa Inggris kembali menyelamatkanku karena metode CARAKITA yang aku susun, dan aku pasang online di www.carakita.com, berhasil melunasi hutang-hutang usahaku, dan bahkan sekarang membawaku ikut menjadi pemegang saham PT Edukasi Carakita, pemilik Kursus Bahasa Inggris EC – English is Easy.

Note : Post ini awalnya saya tulis pada tanggal 23 Nopember 2015. Pada 19 Desember 2019, saham PT Edukasi Carakita sudah saya kembalikan ke pemberinya, yaitu PT Falcon Jakarta.

Terdampar di Dunia Perhotelan

Aku memulai karirku di dunia perhotelan tanpa aku rencanakan sebelumnya. Waktu itu aku gagal lulus Sipenmaru di FKIP Universitas Udayana. Aku tak bisa percaya kalau nama dan nomor ujianku tidak ada di deretan nama-nama peserta yang lulus itu. Aku bolak balik beberapa kali koran Bali Post yang sedang aku pegang, tapi nomorku tidak juga nongol. Ini adalah kali pertama dalam hidupku, aku tidak bisa lulus tes atau ujian.

Setelah aku pastikan bahwa aku memang benar-benar gagal, aku mulai membaca-baca artikel lain dan mataku tertuju pada sebuah kotak iklan dengan bunyi sebagai berikut : Vocational Training 6 bulan langsung kerja. Peminat bisa datang langsung ke Hotel Dhyana Pura, Seminyak, tanggalnya aku lupa, tapi kalau tidak salah, satu atau dua hari setelah tanggal koran Bali Post yang sedang aku baca itu. Wah, ini peluang bagus pikirku.

Aku minta Kade temanku untuk mengantarku ke Seminyak, karena waktu itu tidak ada kendaraan umum ke sana, dan aku tidak atau belum punya motor. Satu-satunya yang ada padaku adalah sepeda gayung pinjaman dari temanku Made S (almarhum), yang aku gunakan sejak aku praktek mengajar di SDN-1 Sumerta. Hari pertama berhasil aku lewati dengan sukses. Waktu itu aku langsung dites wawancara Bahasa Inggris oleh Mr Feisol dari Malaysia, pemilik hotel Kulkul (sekarang Alam Kulkul), dan aku bisa jawab sebagian besar pertanyaannya seputar siapa aku, mengapa ingin ikut tes, dan sebagainya. Maklum, aku sudah belajar Bahasa Inggris beberapa lama dari Radio Australia. Esok harinya, tes dilanjutkan dengan tes tertulis Bahasa Inggris juga, dan aku juga bisa menjawabnya dengan baik. Akhirnya aku diterima sebagai salah seorang peserta Voctra (Vocational Training) dengan jaminan kerja, menyisihkan sekitar seratusan lebih pelamar lainnya.

Aku mulai “kuliahku” sebagai mahasiswa Voctra PPLP Dhyana Pura jurusan Housekeeping dengan membayar Rp 405.000. Jumlah yang cukup besar karena orang tuaku harus menggadaikan tanah sawah warisan di kampungku. Untuk menghemat biaya, aku kos di Seminyak satu kamar bertiga dengan sewa kalau tidak salah Rp 15.000 per orang per bulan.

Kujalani kuliahku dengan penuh semangat. Tiap hari aku belajar dan belajar, berlatih menjadi pegawai hotel bagian housekeeping atau pembersih kamar. Maklum, dunia perhotelan betul-betul asing bagiku. Dan aku ada di sini karena ‘kecelakaan’. Selain housekeeping, aku juga mendapat pelajaran Bahasa Inggris, sedikit pengetahuan kantor depan atau Front Office, serta Laundry dan Binatu. Semua pelajaran itu tidak terlalu sulit bagiku. Yang sedikit masalah mungkin hanya saat aku belajar “making bed”, karena aku harus mengangkat kasur atau matress yang lumayan berat, terutama yang double bed.

Singkat cerita, setelah belajar selama sekitar 2 bulan, tibalah waktunya untuk mulai training di hotel. Sebagian besar temanku sudah mendapat alokasi training di hotel Sanur Beach. Bahkan saat mereka sudah mulai training, aku masih belum mendapat jadwal. Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya aku mendapat tempat training di Hotel Bali Mandira di Jalan Padma Legian. Yang sedikit berbeda, aku tidak training di bagian housekeeping seperti teman-temanku, melainkan di bagian kantor depan atau Front Office. Aku sedikit gembira karena mendapat training di bagian ‘bergengsi’, sedang teman-temanku yang jumlahnya sekitar 30 orang, semuanya training di bagian housekeeping. Ada yang membuatku sedikit khawatir, yaitu aku hanya sendiri training di sana, sedang teman-temanku beberapa orang di satu hotel. Tapi aku jalani saja.

Setelah hampir sebulan, aku memutuskan berhenti training di hotel Bali Mandira. Aku datangi Pak Putra, salah seorang direktur di PPLP Dhyana Pura, dan Beliau memindahkan trainingku ke Hotel Kulkul, di bagian Bel Boy. Saat hotel Kulkul mulai buka, posisiku berubah menjadi kasir kantor depan. Dari sinilah aku mulai karir hotelku, yang akan aku ceritakan lebih detail pada halaman-halaman berikutnya.