Nenek

Ni Nyoman Simpen namanya. Beliau adalah nenekku. Bukan nenek kandung, karena Beliau adalah istri dari saudara kakek kandungku. Beliau memelihara aku sejak kecil. Maklum, aku adalah seorang anak tiri.  Ibuku bercerai sebelum melahirkanku, dan menikah lagi kurang setahun setelah aku dilahirkan. Sejak saat itu aku lebih banyak hidup bersama Nenek.

Nenek tidak dikaruniai anak. Suaminya (saudara kakek saya) meninggal saat pernikahan mereka berjalan sekitar 10 tahunan. Nenek berasal dari Tegaltemu, sebuah desa di seberang sungai Yeh Ho, yang berjarak sekitar 5 kilometer dari kampungku. Walaupun suaminya telah meninggal, Nenek memutuskan untuk tetap tinggal di rumah kami, dan tidak menikah lagi.

Nenek kini telah tiada. Beliau meninggal tahun 2000. Begitu banyak yang ingin kuceritakan tentang Beliau, tentang masa kecilku bersamanya, tentang kasih sayangnya yang tanpa batas, tentang harapan-harapan sederhananya, keikhlasan hidupnya, dan banyak lagi yang lainnya. Semoga bisa kutuliskan di lembar-lembar berikutnya….

Sayur Favoritku

Ada beberapa menu sayur tradisional yang aku sukai :

Sayur daun kelor :

Sayur ini biasanya dibuat nenek dengan memetik dau kelor dari pohon di belakang dapur. Setelah tulang daun disisihkan, kelor direbus dengan air yang tidak terlalu banyak. Setelah mendidih, dimasukkan bumbu yang telah dihaluskan, terdiri dari bawang merah, bawang putih, cabe, kunir, kencur, dan kelapa. Biarkan mendidih sekali lagi, dan sayur daun kelor siap dihidangkan.

Daun talas :

Daun talas diambil nenek dari kebun di belakang rumah. Cara membuatnya kurang lebih sama dengan sayur daun kelor. Agar bervariasi, biasanya nenek menambahkan sedikit kacang panjang, pelepah talas, dan juga daun kacang panjang. Selain mengambil dari kebun di belakang rumah, nenek terkadang mengambil daun talas dari tepian parit di sawah seberang sungai. Daun talas ini biasanya disebut candung, dan rasanya menurutku jauh lebih enak dari daun talas yang diambil di belakang rumah.

Daun paku atau pakis :

Ini adalah sayur favoritku juga. Nenek biasanya mengambil pucuk pakis di tepian sungai Campuan, sekitar 1 kilometer dari rumahku. Cara memasaknya adalah dengan tumisan bawang merah, bawang putih, dan cabai.

Belega :

Belega adalah sejenis mentimun yang tumbuh di belakang rumah dan merambat di pohon dekat pagar. Buahnya yang muda sangat enak dibuat sayur dengan cara ditumis. Sekarang sedikit susah mencari belega. Kalau aku lagi pingin, aku suruh istriku menggantinya dengan mentimun saja.

Jamur :

Waktu aku kecil, masih banyak jenis jamur atau “oong” yang tumbuh di tegalan belakang rumahku. Ada oong padang, oong jagung, oong gajih, oong kuping, oong kunyit, dan terkadang oong ngihngihan yang biasanya tumbuh di bekas rumah laron. Oong ngihngihan inilah yang menurutku paling enak, selain oong somi atau jamur merang. Selain dibuat sayur, oong juga enak dibuat pepes dan nenek sering membuatnya kalau jamur yang didapat hanya satu atau dua saja.

Daun ketela rambat :

Daun ketela rambat yang masih muda juga enak dibuat sayur. Caranya dengan merebusnya, lalau diisi bumbu kelapa panggang yang diparut dicampur tumisan bawang merah, bawang putih dan cabai.

Buah-Buahan Kampung

Sebagai anak kampung, banyak hal yang bisa kami lakukan untuk mencari makanan gratis. Salah satunya adalah mencari buah-buahan. Berikut buah-buahan yang biasanya kami cari dan kami makan :

Boni :
Boni tumbuh di banyak tempat di kampungku. Saat aku kecil, aku bisa mengambilnya dengan bebas, tapi sekarang rupanya tidak bisa lagi, karena sudah memiliki nilai ekonomi, jadi diual oleh pemiliknya.

Ada dua jenis yang aku ingat namanya, yaitu boni nasi dan boni tulang. Boni nasi buahnya agak besar dan bijinya kecil, sedang boni tulang buahnya agak kecilan dan bijinya agak besar. Dalam satu tangkai buah, bisa terdiri dari 10 sampai mungkin 100 biji. Nanti kalau sudah ada gambarnya, aku sediakan di sini.

Boni bisa dimakan saat ia masih hijau, mulai berwarna putih, dan juga saat sudah merah dan hitam atau betul-betul matang. Rasanya dari sepat, masam, hingga manis. Bisa dibuat rujak, atau dimakan langsung juga.

Juwet : 
Juwet juga tumbuh di banyak tempat di desaku. Buahnya lonjong berbiji tunggal. Paling banyak di pinggiran sungai Lambuk atau Yeh Ho. Atau di pangkung-pangkung Subak Lanyah. Berbeda dengan Boni yang bisa dimakan sejak masih hijau, juwet harus ditunggu sampai matang dan berwarna hitam dulu, baru bisa dimakan.

Kami biasa naik sampai ke puncak pohon untuk mencari buah Juwet yang memang betul-betul matang. Kami tidak mau memakannya di atas pohon, karena ada mitos kalau makan banyak bisa jatuh. Betul juga, mungkin karena kenyang dan bisa ngantuk…..

Engkem :
Engkem biasa tumbuh di pagar-pagar atau kadang di tengah ladang juga. Buahnya bulat kecil seperti cherry, berbiji banyak. Warnanya dari hijau, merah, kemudian kalau betul-betul matang berwarna hitam. Rasanya dari sepat, lalu berubah semakin manis. Pohonnya berduri, jadi untuk mengambil buahnya harus extra hati-hati kalau tak mau ketusuk. Kalau buah engkem ini bisa diambil bebas sampai sekarang, karena setahuku ia tak pernah dijual di warung atau di pasar. jadi kalau aku pulang kampung, kadang aku sempatkan berkeliling mencari buah engkem di pagar-pagar ladang tetangga atau di pinggir sungai Lambuk….

Soni :
Soni tumbuh sebagai pohon pagar. Berduri kecil-kecil, buah lonjong semula hijau, merah, kemudian hitam kalau sedah matang. Daging buahnya berwarna putih dengan beberapa biji hitam kecil-kecil. Rasa daging buahnya manis kalau sudah betul-betul matang, namun baunya sedikit aneh, mendekati durian atau markisa. Sampai sekarang soni masih bisa didapatkan di beberapa bagian pagar belakang rumahku.

Mangga :
Mangga bisa tumbuh subur dan berbuah lebat di desaku. Saat aku kecil, mangga belum begitu dihiraukan oleh pemiliknya. Aku biasa mencarinya di pinggir sungai atau di ladang-ladang tetangga. Caranya dengan naik pohonnya atau melemparnya dari bawah dengan rantig kayu atau batu. Jika buahnya masih muda, kami bisa buat rujak atau langsung memakannya dengan garam, cabe dan terasi yang sudah kami siapkan dari rumah. Jika sudah matang, akan langsung kami makan tanpa menggunakan pisau untuk mengirisnya.

Sekarang, mangga sudah menjadi komoditi yang bisa dijual, jadi tidak bisa kami ambil dengan mudah seperti dulu. Ada beberapa pohon mangga di pinggir sungai yang pemiliknya dari desa yang jauh, jadi masih ada chance untuk mencurinya… hehe…

Ada beberapa buah lain yang bisa kami ambil bebas dan langsung dimakan, seperti jambu biji, jambu air, asam, buah pungut, buah rotan, buah badung, dan beberapa lainnya. Nanti kalau ada, akan aku tambahkan lagi….

Buah Lainnya :

Selain buah-buahan di atas, aku juga terkadang mencari buah tengulun, buah rotan atau penyalin, dan buah badung di seberang sungai Lambuk. Ada juga buah mundeh yang satu-satunya aku ingat tumbuh di area Pura Manik Janglap di banjar Kebon. Buah-buahan lain yang bisa dimakan adalah buah pungut, dan lempeni yang biasa tumbuh di pagar-pagar dan di pinggir sungai.

Dusunku Tempo Dulu

Aku terlahir di sebuah dusun kecil yang sederhana. Namanya adalah Dusun Nyampuan. Nama ini diambil dari pertemuan tiga sungai di ujung Timur dusunku. Sungai-sungai itu adalah Lambuk, Campuan, dan Yeh Ho. Nyampuan secara sederhana bisa berarti “campuran”, yaitu campuran ketiga sungai-sungai itu.

Tahun 1976-an, jalan depan rumahku adalah jalan tanah dengan got di kiri-kanannya. Jalan ini tidak rata, tapi cukup baik untuk dilewati pejalan kaki. Kalau naik sepeda, harus dipilih-pilih yang bisa dilalui. Beberapa rumah penduduk berjejer di pinggir jalan ini. Sebagian besar pagar depan rumah-rumah ini adalah pohon kembang sepatu, yang berbunga merah, sebagian besar tidak dipotong rapi. Beberapa ada yang berpagar dinding tanah liat beratap jerami, dengan gapura tanah rangka bambu beratap jerami pula.

Ada sebuah pohon bunut besar berdiri di pagar rumah seberang rumahku. Pohon bunut ini tingginya sekitar 40 meteran. Daun-daunnya lebat dengan cabang-cabang yang melebar menutupi jalan dan sanggah atau pura keluarga di bawahnya. Jika musimnya berbuah, banyak burung-burung berdatangan mencari makan. Burung-burung itu adalah jenis jalak seperti curik dan ……. Sambil makan, mereka biasanya bernyanyi dan bercengkrama.

Rumahku

Karena aku dulunya punya 2 orang kakek dan 2 orang nenek, maka rumahku sebenarnya untuk 2 keluarga. Tapi karena Nenek tidak punya anak, dan nenek kandungku hanya punya satu anak yaitu ibuku, maka rumah kami seperti menjadi satu rumah saja. Ada satu bangunan meten Bali beratap ilalang dengan 12 tiang, dan satu lagi meten model baru beratap genteng dengan 8 tiang. Kedua bangunan ini berdinding bata mentah berplester tanah, namun cukup kuat juga bertahan bertahun-tahun. Gedek bambu dipasang di bagian depan dan samping. Nenek dan aku tinggal di meten Bali yang dengan 12 tiang, sedang ibu dan Ayah, dan dua adik tiriku di meten satunya.

Di tengah-tengah berdiri Bale Bali kecil bertiang 6, atau biasa disebut bale mundak. Bale ini kadang digunakan sebagai tempat suka duka kami sebagai umat Hindu. Sehari-hari bangunan ini sebagai tempat tidur kakek dan nenek kandungku.

Ada 2 buah bangunan lumbung beratap ilalang, yang satu milik Nenek, dan yang lainnya milik ibuku dan anggota keluarga lainnya. Lumbung-lumbung ini tempat menyimpan padi kering setelah habis panen. Beberapa ayam yang kami pelihara juga tidur dan bertelur di sini. Jika ada telur mereka menetas, kami menaruh anak-anaknya di bagian bawah lumbung, dan kami tutup keranjang.

Karena terdiri dari 2 keluarga, kami punya 2 bangunan dapur. Satu untuk aku dan nenek, satu lagi untuk anggota keluarga yang lain. Kedua bangunan dapur ini sangat sederhana. Yang untuk aku dan nenek beratap ilalang, sedang yang satunya lagi beratap genteng. kami semua memasak dengan kayu bakar, jadi dapur kami hitam dan kotor penuh mangsi dan abu. Sebagian ayam-ayam kami juga tidur dan bertelur di bangunan dapur ini, selain di bangunan lumbung. Kami harus rajin membersihkannya agar tidak berbau dan tidak menjadi rumah bagi “gagad”, serangga kecil pembikin gatal, yang biasa hadir saat ayam mengeram.

Di Barat Laut rumah kami, berdiri Merajan atau sanggah keluarga tempat kami sembahyang. Bangunannya terbuat dari kayu tanpa ukiran beratap ilalang, dan bataran atau dudukannya dari tumpukan padas tanpa ukiran pula. Ada palinggih kemulan, rambut sedana, catu, saren dan taksu. Ada juga palinggih Tugu, baturan dan piasan yang belakangan karena beberapa pertimbangan, ketiganya dipindahkan ke bagian belakang rumah kami.

Di pagar sanggah atau erajan sebelah utara berdiri pohon mangga santen yang tinggi. Buahnya lebat dan manis. Nenek biasa naik mencarinya jika sudah matang. Ia menggunakan bambu panjang yang di ujungnya dipasang serok kecil anyaman bambu juga. Tujuannya agar buah mangga tidak jatuh dan pecah. Mangga-mangga ini biasanya dibawa nenek ke desa di kaki gunung untuk ditukar buah-buahan lain seperti manggis, duku, dan wani.

Di belakang rumahku juga tumbuh beberapa pohon bunut besar tempat burung-burung dan tupai bersarang. Ada juga pohon boni nasi, pohon asam, kelapa, dan aren. Pohon lainnya adalah waru, pulet, cenangga, bentawas dan piling. Tiga jenis bambu juga ada, yaitu bambu ampel, bambu tali, dan tamblang. Pohon-pohon dan bambu ini sangat berguna untuk menghadirkan kesejukan sepanjang waktu disamping sering digunakan untuk keperluan upacara agama Hindu.

Di sela-sela pepohonan ini, nenek biasanya menanam berbagai tanaman perdu berumur pendek seperti talas, ketela pohon, ketela rambat, biaung/kentang, sabrang, jahe, kunyit, bongkot, lengkuas, bangle, dan juga pisang. Di bagian pinggir, ditanam nanas dan pohon pandan. Daun pandan ini biasa digunakan untuk bahan membuat tikar. Pernah ada juga tanaman kapas dan sirsak.

Beberapa tanaman bunga juga tumbuh baik di pagar dan pekarangan rumahku. Ada 2 pohon kamboja merah, pohon bunga kemoning, kembang sepatu tentunya, karena sebagai pagar, pucuk rokok, kembang koning, dan belakangan ditanam bunga nusa indah serta bougenville. Nenek juga menanam bunga berumur pendek seperti gumitir, pacar, dan matahari.  Bunga-bunga ini sangat penting bagi keluargaku, karena bisa digunakan dalam pembuatan banten atau sarana upacara agama Hindu.

Balai Banjar

Terletak di tengah banjar, berdiri sebuah balai banjar yaitu ruang pertemuan untuk anggota banjar.  Balai banjar ini berupa bangunan kayu sederhana bertiang 10. Atapnya dari genteng dan lantainya bata merah persegi ukuran sekira 25 x 25 cm. Samping kiri kanan dan belakangnya berpagar kembang sepatu berbunga merah, sedang bagian depannya dibiarkan terbuka.

Di pekarangan tumbuh berbagai jenis rumput, yang terkadang terpotong rapi karena disabit warga untuk makanan sapi. Tidak ada bunga-bunga atau tanaman lainnya. Tiang bendera bambu hanya terpasang menjelang tujuh belas Agustus. Ada papan kecil tergantung di bagian depan, dengan tulisan “Banjar Nyampuan.”

Aku dan teman-teman sering atau bahkan hampir setiap hari bermain di balai banjar ini. Permainannya dari megala-gala, congklak, macan-macanan, sepak bola, atau maalih-alihan. Kami juga sering nyapung dan mencari belalang di halamannya. Beberapa ibu-ibu juga sering duduk-duduk sambil momong anak atau cucu mereka. Tidak ada yang tergesa-gesa, semua berjalan dengan santai dan apa adanya.

Ketika sore tiba, terkadang ada warga yang berjualan di balai banjar ini. Yang paling aku ingat adalah almarhum Men Lebek atau belakangan dikenal dengan Mbah Evi. Beliau biasa menjual jajanan Bali, pisang goreng, tipat cantok, permen, rokok, kopi, susu, dan terkadang tum babi. Ada juga kerupuk semprong, roti marie, sorbet, ronde, es campur dan juga terkadang es lilin. Aku sering membeli susu dan roti di sini sepulang munuh atau mencari pasir.

Adat dan Keagamaan

Sebagai sebuah banjar yang semua penduduknya beragama Hindu Bali, ada banyak pura di banjarku. Pura Sada terletak di ujung Utara atau hulu banjar. Kemudian ada Palinggih pempatan di lokasi Balai Banjar, hanya satu buah pelinggih sederhana dari bata merah menghadap ke Timur. Kemudian ada Bale Gong di sebuah rumah berlokasi di Tenggara Balai Banjar. Palinggih Pajenengan atau Kawitan keluarga kami terletak di ujung Selatan Banjar dan kami juga punya Sanggah Gede sekitar 50 meter di Barat Laut Pura Kawitan.

Odalan atau Hari Ulang Tahun di masing-masing pura dirayakan setiap 6 bulan secara sangat sederhana. Yang lumayan agak meriah adalah odalan di Pura Sada dan Bale Gong, dimana biasanya ada beberapa orang menjajakan dagangannya saat hari odalan tiba. Sedang di pura yang lainnya hanya persembahan banten sederhana yang hanya melibatkan ibu-ibu saja, tidak ada tetabuhan dan penjor besar di gapuranya.

Tajen atau tabuh rah biasanya digelar sehari atau dua hari setelah odalan di Pura Sada dan Bale Gong. Tajen ini biasanya sangat ramai oleh para bebotoh yang datang dari desa-desa sebelah, dan bahkan dari seberang sungai seperti Belumbang, Kerambitan dan Penarukan. Ada beragam permainan selain sabungan ayam, seperti kocokan dadu, bola adil, dan blok kyu. Dagangan juga ada, bahkan terkadang lebih banyak daripada saat odalan. Mereka menjual nasi, tipat cantok, kopi, dan sebagainya.

Ada 2 pura besar lagi tapi tidak berlokasi di banjarku. Mereka adalah Pura Puseh dan Pura Dalem. Odalan di 2 pura ini jauh lebih ramai dari beberapa pura yang kusebutkan sebelumnya. Ini karena penyungsung atau anggotanya dari beberapa banjar di desaku. Odalan di Pura Puseh yang jatuh sehari setelah hari Kuningan sangat kami nantikan. Di sini adalah kesempatan kami untuk memakai baju baru, yang biasanya sudah kami jahit jauh hari sebelumnya di tukang jahit satu-satunya di banjar kami. Ada banyak pedagang mainan, kokek-kokekan, kembang gula, dagang nasi, dan juga mainan kocok dadu, serta bola adil. Selain itu ada juga gong dari 2 banjar dan angklung, serta Jero Gede Teges yang sangat ingin kami lihat tapi takut kalau sudah dekat. Cerita tentang odalan ini akan aku tuliska lebih lengkap pada kesempatan lain.

Waktu kecil, kami anak-anak tidak memakai kain ke pura. Kami memakai celana dan baju yang khusus kami siapkan untuk dipakai ke pura atau ke kota. Baru beberapa tahun belakangan, semenjak adanya slogan Ajeg Bali, anak-anak mulai memakai atau mengenakan kain, baju putih dan destar ke pura.

Bermain

Jadi anak kecil di kampung memang menyenangkan. Banyak permainan yang bisa kami mainkan di sela-sela letih setelah sekolah dan kadang membantu bekerja.

Magala-galaan :
Ini adalah permainan yang terdiri dari 2 regu. Masing-masing regu sebaiknya terdiri dari minimal 3 orang. Satu regu misalnya Regu A menjadi penjaga, satunya lagi misalnya Regu B harus berusaha melewati hadangan regu A. Regu A akan berdiri berderet ke belakang, dengan jarak 3 langkah (sekira 3 meter). Anggota regu B akan berusaha melewati dari deret paling depan, sampai ke belakang, kemudian balik lagi tanpa tersentuh tangan Regu A.

Satu orang berhasil lewat dengan selamat, berarti Regu B pemenangnya. Sebaliknya jika salah satu anggota Regu B berhasil ditangkap (disentuh) oleh Regu A, maka Regu B kalah, dan wajib bertukar menjadi penjaga. Begitu seterusnya. Permainan ini akan menjadi tambah seru jika banyak ada penonton.. Di kiri dan kanan penjaga diberi batas. Regu B tidak boleh lewat ke belakang atau ke depan di luar batas itu. Jika dilanggar akan didiskualifikasi, dan dianggap kalah.

Maalih-alihan (Hide and Seek) :
Permainan ini aku kira terkenal di mana-mana. Satu orang akan menjadi pencari, dan yang lainnya sembunyi. Sebuah pilar atau sebatang pohon agak besar akan ditetapkan sebagai tempat tarikan atau base-nya. Permainan dimulai dengan si pencari menutup matanya, sementara yang lainnya berlari sembunyi secepatnya. Selang beberapa saat, pencarian dimulai. Anggota lain akan berusaha menuju base secepatnya tanpa ditangkap oleh si pencari. Siapa yang ditangkap pertama kali, ia akan mengganti posisi menjadi si pencari.

Jika sampai batas waktu tertentu, si pencari tidak bisa menangkap satu orang pun dan tidak juga bisa menemukan persembunyian peserta lainnya, ia harus menyerah dan kembali menjadi si pencari lagi. Kami biasanya memainkan permainan ini pada malam hari, saat terang bulan purnama. Tak ada perasaan takut sedikit pun agan digigit ular atau terinjak pecahan botol. Kegembiraan kami mengalahkan kekhawatiran…. Selesai permainan, kami terkadang pergi ke sungai untuk mandi atau sekedar membasuh keringat…

Macan-macanan dan congklak :
Ada beberapa jenis macan-macanan yang biasa kami mainkan. Diantaranya, macan ingkut (terdiri 9 bujur sangkar), macan mobil-mobilan, macan derek. Cara mainnya akan aku jelaskan di kesempatan lain.

Kami juga sering main congklak dan bangkal-bangkalan. Untuk bangkal-bangkalan, lobangnya kami buat di tanah menggunakan batu untuk menumbuknya, sedangkan pionnya dari kerikil-kerikil kecil dan pecahan genteng.

Sepak Bola :
Salah satu permainan terfavorit kami adalah sepak bola. Bolanya kami buat dari batang pisang yang sudah kering, yang kemudian kami ikat bagian luarnya menyerupai segi 5 bola sepak beneran. Kami bermain di ladang orang yang tudak digunakan untuk berkebun. Kami teerbiasa berguling-guling di rumput, dan tak pernah kena penyakit gatal. Sepertinya kulit kami sudah sedikit kebal akibat terpaan alam.

Semakin sore, biasanya peserta semakin banyak, begitu juga dengan penontonnya. Pemain dan penonton bukan hanya anak-anak, tapi orang dewasa pun ikut serta, apalagi saat musim kemarau atau menjelang panen, dimana kegiatan di sawah sementara dihentikan. Kami semua warga desa larut dalam sorak sorai gembira…

Berenang dan Meceburan :
Permainan lain adalah berenang di sungai. Karena kami tinggal di desa pinggiran sungai, semua kami dilatih berenang sejak kecil. Kami harus bisa berenang, karena kalau tidak, kami tidak akan diajak main oleh teman-teman.

Disamping berenang, kami juga punya permainan uji nyali yaitu terjun ke air dari batu atau pohon dengan ketinggian 3-5 meter. Siapa yang tidak berani, akan diolok-olok atau akan dipaksa oleh teman-teman. Jadi kami harus punya nyali juga… he he….

Pisang-pisangan :
Sehabis belajar berkelompok, biasanya kami mau permainan ringan. Kami suka mebiyu-biyuan, atau pisang-pisangan. Cara mainnya, semua peserta akan menamai dirinya dengan nama pisang, seperti Biyu Kayu, Biyu Sabit, Biyu Gedang, Biyu Dak Raja, Biyu Mas, Biyu Kate, Biyu Batu, Biyu Keladi, dan sebagainya.

Setelah melakukan suit atau hompimpa, yang kalah akan menjadi si pencari. Peserta lainnya akan berkumpul bersama di halaman, kemudian ditutup menggunakan selimut. Setelah siap, si pencari akan mulai meraba-raba dari atas selimut, lalu menebak nama pisang orang yang dipegangnya. Ia hanya bisa menebak 3 kali. Kalau tidak berhasil, ia akan menjadi si pencari lagi. Jika ada yang ketebak dengan benar, maka ia menggantikan posisinya menjadi si pencari.

Masih ada beberapa permainan lain yang belum sempat kuceritakan. Aku akan mencobanya di lain waktu…..

Belajar Mencari Uang

Sebagai anak petani kampung, aku harus ikut rekan-rekan kami mencari penghasilan. Ada beberapa yang biasanya kami lakukan :

Munuh :
Munuh adalah mencari sisa-sisa gabah atau bulir padi yang tertinggal setelah panen dilakukan pemiliknya. Sehabis makan siang setelah pulang sekolah, aku ambil niru dan sebilah bambu khusus untuk merontokkan padi, lalu berangkat ke sawah di sebelah Barat desaku. Tak kulupakan baju tangan panjang dan topi bambu yang sedikit lebar penahan terik mentari.

Bergegas aku mencari tumpukan jerami yang sudah ditinggalkan pemiliknya, karena panen mereka usai. Dari balik tumpukan itu, aku kumpulkan satu demi satu biji gabah ke atas niru yang aku bawa. Setelah terkumpul, aku membersihkannya, lalu meniriskannya melalui desir angin agar bersih. Setelahnya, aku masukkan ke karung kecil yang aku siapkan. Setengah hari, biasanya aku bisa kumpulkan 2-3 kilo gabah basah. Langsung aku jual ke pengepul, dan uangnya aku belikan segelas susu panas dan sebungkus roti.

Mengumpulkan Pasir :
Jika panen usai, kami biasa mencari atau mengumpulkan pasir di sungai. Bukan di sungai Lambukku, melainkan di sungai Yeh Ho, yang berjarak sekitar 1 km dari rumahku. Peralatan yang aku siapkan adalah sekop, ayakan, dan ceper atau penampung. Setelah terkumpul beberapa ceper, pasir kujual ke pengepul, dan mereka akan menjual lagi setelah terkumpul minimal 1 truk. Seperti biasa, uangnya kujadikan segelas susu dan sebungkus roti.

Memecah Batu :
Pekerjaan lain yang tersedia adalah memecah batu kerikil, menjadi batu kek atau gladag. Nenek bersamaku untuk pekerjaan ini. Batu pecah ini diperlukan untuk pengaspalan jalan, sebelum ada sistem hotmix. Kami harus mengambil batu di sungai Lambuk atau Yeh Ho, ceper demi ceper, atau bakul demi bakul. Kemudian memecahnya dengan palu. Setelah terkumpul agak banyak, baru bisa dijual. Beda dengan gabah dan pasir, batu pecah ini tak bisa kami jual setiap hari, jadi aku harus bersabar untuk minum susu dan makan roti. Biasanya kami baru bisa mengumpulkan setengah M3 dalam waktu satu minggu.

Menaikkan atau menurunkan batu, pasir atau kek :
Pekerjaan lain yang tersedia untuk anak-anak sepertiku adalah menaikkan atau menurunkan batu, pasir, atau kek ke dan dari truk. Kami hanya bisa sebagai pembantu untuk pekerjaan ini, karena tenaga kami tidak cukup kuat untuk melakukannya. Namun demikian, kami bisa merasakan susahnya mencari dan mengumpulkan uang. Terkadang, kami ikut diajak menurunkan bahan-bahan itu ke desa yang jauh seperti Guniyang, Selemadeg. Upahnya langsung bisa kami terima saat pulang, jadi langsung bisa kubelikan segelas susu dan roti.

Ada beberapa pekerjaan lain yang kadang aku ambil, misalnya menjual ikan atau kepiting hasil tangkapan, menjual nangka dengan sistem bagi hasil (bisa menjual 3 sisir mendapat upah 1 sisir), menjualkan pepes hiu, menjualkan kroto atau telur semut merah, dan sebagainya. Aku menikmati semua pekerjaan-pekerjaan itu tanpa menyadari kalau semua itu akan sangat berguna saat aku menghadapi kerasnya hidup di hari-hari selanjutnya. Satu hal yang aku petik adalah “Mengeluh dan menyalahkan bukanlah sebuah pilihan.”

Blauk

Capung biasanya bertelur di sawah, dan menetas dalam beberapa hari. Anak atau larva capung ini dikenal dengan Blauk di desaku. Waktu kecil,  Nenek sering mengajakku menangkap Blauk di persawahan seberang Lambuk. Alat penangkapnya adalah Cekot, atau serok kecil bertangkai panjang.

Blauk biasanya diam di cerok kecil yang masih tergenang air saat sawah dikeringkan. Kami menangkapnya sambil berdiri di pematang. Atau kalau habis panen, kami bisa turun ke sawah, lalu mengambil blauk dengan dua tangan yang disatukan. Untuk waktu penangkapan selama satu jaman, kami biasanya mendapat cukup Blauk untuk makan sore berdua. Rasanya sedikit lebih enak dari capung panggang atau pepes daun kunyit.

Sama seperti ikan dan udang di sungai, kini sangat sulit menemukan Blauk di desaku. Mereka hampir punah ditelan derasnya penggunaan pestisida yang aku rasa berlebihan. Aku rindu Blauk-Blauk datang lagi….

Kolam Susu

Lauk pauk sebenarnya bukan masalah di desaku. Saat aku masih bocah, masih banyak ikan, udang, kepiting dan siput tersedia di sungai Lambuk yang terletak 100 meteran di belakang rumahku. Berbagai cara bisa kami lakukan untuk menangkapnya.

Ngenyat :
Sesuai namanya, ngenyat adalah membuat “nyat” atau kering, yaitu dengan membendung aliran sungai menuju tibu atau palung kecil, kemudian membuang air palung itu ke hilir, hingga kering atau hampir kering, kemudian menangkap semua ikan, udang, atau kepting yang ada di sana. Ini sangat mudah dilakukan bila air sungai lagi mengecil karena lama tidak turun hujan di hulu. Untuk membendung airnya, kami gunakan tanah liat yang kami ambil di persawahan di seberang sungai. Jika lagi mujur, kami bisa mendapat ikan dan kepiting yang cukup untuk makan sekeluarga selama 2 atau 3 hari.

Mengkang :
Mengkang adalah menangkap kepiting dengan umpan cacing tanah. Cacing tanah ditusuk dengan lidi untuk kemudian dibuat menggantung diujung benang nylon atau benang khusus pancing. Panjang tusukan cacing tanah antara 10-30 cm. Untuk membuatnya tenggelam, kami gunakan tanah liat yang dikepal, lalu ditaruh diujung atas tusukan cacing tanah. Alat mengkang ini kami sebut Pengkangan. Pengkangan ditaruh sekitar 5 menit di palung yang agak dalam, lalu diangkat. Jika mujur, satu atau beberapa kepiting akan ikut terangkat saat mereka makan cacing tanah itu.

Mekena :
Mekena adalah memasang bubu dari anyaman bambu dengan umpan di dalamnya. Umpannya adalah nasi putih diuleg, dicampur daun kesimbukan dan dedak halus. Bubu dipasang menghadap ke hilir di tempat yang kira-kira menjadi jalan udang atau ikan lain pada sore hari. Esok paginya bubu diangkat. Jika mujur, akan ada beberapa udang, ikan atau kepiting terperangkap di dalamnya.

Mancing :
Mancing sangat umum dilakukan. Hal yang harus diperhatikan adalah jenis pancing yang digunakan. Jika ingin mendapat udang, kami menggunakan pancing udang. Untuk mendapatkan ikan patin, digunakan pancing khusus ikan patin. Begit juga dengan lele, tawes, nyalean, dan sejenisnya.

Ngogo :
Ngogo adalah menangkap kepiting atau udang langsung di bawah air. Mereka biasanya tinggal di bawah batu, di kumpulan daun-daun yang tenggelam, batok kelapa atau potongan bambu yang tenggelam. Jika lagi musimnya, aku bisa mendapat banyak kepiting dalam 30 menit.

Masang Bronjong :
Bronjong adalah bubu besar, panjangnya sekira 1 sampai 1,5 meteran. Beda dengan bubu yang dipasang menghadap ke hilir, bronjong dipasang menghadap ke hulu, di aliran air yang sedikit terjun. Jika lagi musim kepiting hanyut (sekitar bulan April), kami bisa mendapat seember kepiting di pagi hari, setelah membiarkan bronjong terpasang semalaman.

Nyau :
Nyau atau menjaring ikan dengan anyaman benang bertangkai bambu dan kayu. Ini kami lakukan saat banjir baru saja tiba. Ikan ikan yang hanyut dari hulu, kami jaring di tepian sungai yang tidak terlalu deras. Biasanya kami bisa tangkap udang, ikan nyalean, atau terkadang ikan lele serta tawes.

Mencar :
Mencar adalah menangkap ikan dengan jala yang dilemparkan ke palung atau bagian sungai yang landai. Jika mujur, akan ada satu atau beberapa ikan dan udang yang terperangkap.


Akhir-akhir ini, mulai agak susah menemukan ikan di sungai Lambuk. Ini karena banyak yang menangkap mereka menggunakan cara-cara terlarang, seperti menyetrum, meracun menggunakan portas, serta “ngenyat” menggunakan pompa air besar. Sebab lain juga karena berkurangnya batu-batuan di bagian hilir, karena diambil untuk membuat bangunan atau dijual oleh masyarakat sekitar.

Sedih, Lambukku kini bukan lagi kolam susu, ikan dan udang menjauhi diriku……