Nenek

Ni Nyoman Simpen namanya. Beliau adalah nenekku. Bukan nenek kandung, karena Beliau adalah istri dari saudara kakek kandungku. Beliau memelihara aku sejak kecil. Maklum, aku adalah seorang anak tiri.  Ibuku bercerai sebelum melahirkanku, dan menikah lagi kurang setahun setelah aku dilahirkan. Sejak saat itu aku lebih banyak hidup bersama Nenek.

Nenek tidak dikaruniai anak. Suaminya (saudara kakek saya) meninggal saat pernikahan mereka berjalan sekitar 10 tahunan. Nenek berasal dari Tegaltemu, sebuah desa di seberang sungai Yeh Ho, yang berjarak sekitar 5 kilometer dari kampungku. Walaupun suaminya telah meninggal, Nenek memutuskan untuk tetap tinggal di rumah kami, dan tidak menikah lagi.

Nenek kini telah tiada. Beliau meninggal tahun 2000. Begitu banyak yang ingin kuceritakan tentang Beliau, tentang masa kecilku bersamanya, tentang kasih sayangnya yang tanpa batas, tentang harapan-harapan sederhananya, keikhlasan hidupnya, dan banyak lagi yang lainnya. Semoga bisa kutuliskan di lembar-lembar berikutnya….

Baju Barong

Meme meme beliang tiyang baju
Baju kenken beliyang meme cening
Baju poleng misi gambaran barong

Jaler baju makejang pada bersih
Kuku nyalig gigine putih nyalang
Keto solah anake dadi murid

Artinya :

Oh ibuku belikanlah aku baju
Baju yang bagaimana yang ibu belikan kamu?
Baju loreng ada gambaran Barongnya

Celana dan baju semua bersih
Kuku bersih gigimu putih berkilau
Begitu seharusnya pribadimu sebagai seorang murid

Ini adalah salah satu lagu pertama yang diajarkan guru SD-ku kepadaku. Kalau tidak salah, lagu ini diajarkan oleh almarhum Bapak Gede Gejir.. guruku di SD no 1 Tangguntiti. Lagu yang bermakna mengajarkan kebersihan adalah hal yang penting. Aku ingin lagu-lagu seperti ini diajarkan kembali kepada murid-murid kita sekarang… Semoga!!

Dusunku Tempo Dulu

Aku terlahir di sebuah dusun kecil yang sederhana. Namanya adalah Dusun Nyampuan. Nama ini diambil dari pertemuan tiga sungai di ujung Timur dusunku. Sungai-sungai itu adalah Lambuk, Campuan, dan Yeh Ho. Nyampuan secara sederhana bisa berarti “campuran”, yaitu campuran ketiga sungai-sungai itu.

Tahun 1976-an, jalan depan rumahku adalah jalan tanah dengan got di kiri-kanannya. Jalan ini tidak rata, tapi cukup baik untuk dilewati pejalan kaki. Kalau naik sepeda, harus dipilih-pilih yang bisa dilalui. Beberapa rumah penduduk berjejer di pinggir jalan ini. Sebagian besar pagar depan rumah-rumah ini adalah pohon kembang sepatu, yang berbunga merah, sebagian besar tidak dipotong rapi. Beberapa ada yang berpagar dinding tanah liat beratap jerami, dengan gapura tanah rangka bambu beratap jerami pula.

Ada sebuah pohon bunut besar berdiri di pagar rumah seberang rumahku. Pohon bunut ini tingginya sekitar 40 meteran. Daun-daunnya lebat dengan cabang-cabang yang melebar menutupi jalan dan sanggah atau pura keluarga di bawahnya. Jika musimnya berbuah, banyak burung-burung berdatangan mencari makan. Burung-burung itu adalah jenis jalak seperti curik dan ……. Sambil makan, mereka biasanya bernyanyi dan bercengkrama.

Rumahku

Karena aku dulunya punya 2 orang kakek dan 2 orang nenek, maka rumahku sebenarnya untuk 2 keluarga. Tapi karena Nenek tidak punya anak, dan nenek kandungku hanya punya satu anak yaitu ibuku, maka rumah kami seperti menjadi satu rumah saja. Ada satu bangunan meten Bali beratap ilalang dengan 12 tiang, dan satu lagi meten model baru beratap genteng dengan 8 tiang. Kedua bangunan ini berdinding bata mentah berplester tanah, namun cukup kuat juga bertahan bertahun-tahun. Gedek bambu dipasang di bagian depan dan samping. Nenek dan aku tinggal di meten Bali yang dengan 12 tiang, sedang ibu dan Ayah, dan dua adik tiriku di meten satunya.

Di tengah-tengah berdiri Bale Bali kecil bertiang 6, atau biasa disebut bale mundak. Bale ini kadang digunakan sebagai tempat suka duka kami sebagai umat Hindu. Sehari-hari bangunan ini sebagai tempat tidur kakek dan nenek kandungku.

Ada 2 buah bangunan lumbung beratap ilalang, yang satu milik Nenek, dan yang lainnya milik ibuku dan anggota keluarga lainnya. Lumbung-lumbung ini tempat menyimpan padi kering setelah habis panen. Beberapa ayam yang kami pelihara juga tidur dan bertelur di sini. Jika ada telur mereka menetas, kami menaruh anak-anaknya di bagian bawah lumbung, dan kami tutup keranjang.

Karena terdiri dari 2 keluarga, kami punya 2 bangunan dapur. Satu untuk aku dan nenek, satu lagi untuk anggota keluarga yang lain. Kedua bangunan dapur ini sangat sederhana. Yang untuk aku dan nenek beratap ilalang, sedang yang satunya lagi beratap genteng. kami semua memasak dengan kayu bakar, jadi dapur kami hitam dan kotor penuh mangsi dan abu. Sebagian ayam-ayam kami juga tidur dan bertelur di bangunan dapur ini, selain di bangunan lumbung. Kami harus rajin membersihkannya agar tidak berbau dan tidak menjadi rumah bagi “gagad”, serangga kecil pembikin gatal, yang biasa hadir saat ayam mengeram.

Di Barat Laut rumah kami, berdiri Merajan atau sanggah keluarga tempat kami sembahyang. Bangunannya terbuat dari kayu tanpa ukiran beratap ilalang, dan bataran atau dudukannya dari tumpukan padas tanpa ukiran pula. Ada palinggih kemulan, rambut sedana, catu, saren dan taksu. Ada juga palinggih Tugu, baturan dan piasan yang belakangan karena beberapa pertimbangan, ketiganya dipindahkan ke bagian belakang rumah kami.

Di pagar sanggah atau erajan sebelah utara berdiri pohon mangga santen yang tinggi. Buahnya lebat dan manis. Nenek biasa naik mencarinya jika sudah matang. Ia menggunakan bambu panjang yang di ujungnya dipasang serok kecil anyaman bambu juga. Tujuannya agar buah mangga tidak jatuh dan pecah. Mangga-mangga ini biasanya dibawa nenek ke desa di kaki gunung untuk ditukar buah-buahan lain seperti manggis, duku, dan wani.

Di belakang rumahku juga tumbuh beberapa pohon bunut besar tempat burung-burung dan tupai bersarang. Ada juga pohon boni nasi, pohon asam, kelapa, dan aren. Pohon lainnya adalah waru, pulet, cenangga, bentawas dan piling. Tiga jenis bambu juga ada, yaitu bambu ampel, bambu tali, dan tamblang. Pohon-pohon dan bambu ini sangat berguna untuk menghadirkan kesejukan sepanjang waktu disamping sering digunakan untuk keperluan upacara agama Hindu.

Di sela-sela pepohonan ini, nenek biasanya menanam berbagai tanaman perdu berumur pendek seperti talas, ketela pohon, ketela rambat, biaung/kentang, sabrang, jahe, kunyit, bongkot, lengkuas, bangle, dan juga pisang. Di bagian pinggir, ditanam nanas dan pohon pandan. Daun pandan ini biasa digunakan untuk bahan membuat tikar. Pernah ada juga tanaman kapas dan sirsak.

Beberapa tanaman bunga juga tumbuh baik di pagar dan pekarangan rumahku. Ada 2 pohon kamboja merah, pohon bunga kemoning, kembang sepatu tentunya, karena sebagai pagar, pucuk rokok, kembang koning, dan belakangan ditanam bunga nusa indah serta bougenville. Nenek juga menanam bunga berumur pendek seperti gumitir, pacar, dan matahari.  Bunga-bunga ini sangat penting bagi keluargaku, karena bisa digunakan dalam pembuatan banten atau sarana upacara agama Hindu.

Balai Banjar

Terletak di tengah banjar, berdiri sebuah balai banjar yaitu ruang pertemuan untuk anggota banjar.  Balai banjar ini berupa bangunan kayu sederhana bertiang 10. Atapnya dari genteng dan lantainya bata merah persegi ukuran sekira 25 x 25 cm. Samping kiri kanan dan belakangnya berpagar kembang sepatu berbunga merah, sedang bagian depannya dibiarkan terbuka.

Di pekarangan tumbuh berbagai jenis rumput, yang terkadang terpotong rapi karena disabit warga untuk makanan sapi. Tidak ada bunga-bunga atau tanaman lainnya. Tiang bendera bambu hanya terpasang menjelang tujuh belas Agustus. Ada papan kecil tergantung di bagian depan, dengan tulisan “Banjar Nyampuan.”

Aku dan teman-teman sering atau bahkan hampir setiap hari bermain di balai banjar ini. Permainannya dari megala-gala, congklak, macan-macanan, sepak bola, atau maalih-alihan. Kami juga sering nyapung dan mencari belalang di halamannya. Beberapa ibu-ibu juga sering duduk-duduk sambil momong anak atau cucu mereka. Tidak ada yang tergesa-gesa, semua berjalan dengan santai dan apa adanya.

Ketika sore tiba, terkadang ada warga yang berjualan di balai banjar ini. Yang paling aku ingat adalah almarhum Men Lebek atau belakangan dikenal dengan Mbah Evi. Beliau biasa menjual jajanan Bali, pisang goreng, tipat cantok, permen, rokok, kopi, susu, dan terkadang tum babi. Ada juga kerupuk semprong, roti marie, sorbet, ronde, es campur dan juga terkadang es lilin. Aku sering membeli susu dan roti di sini sepulang munuh atau mencari pasir.

Adat dan Keagamaan

Sebagai sebuah banjar yang semua penduduknya beragama Hindu Bali, ada banyak pura di banjarku. Pura Sada terletak di ujung Utara atau hulu banjar. Kemudian ada Palinggih pempatan di lokasi Balai Banjar, hanya satu buah pelinggih sederhana dari bata merah menghadap ke Timur. Kemudian ada Bale Gong di sebuah rumah berlokasi di Tenggara Balai Banjar. Palinggih Pajenengan atau Kawitan keluarga kami terletak di ujung Selatan Banjar dan kami juga punya Sanggah Gede sekitar 50 meter di Barat Laut Pura Kawitan.

Odalan atau Hari Ulang Tahun di masing-masing pura dirayakan setiap 6 bulan secara sangat sederhana. Yang lumayan agak meriah adalah odalan di Pura Sada dan Bale Gong, dimana biasanya ada beberapa orang menjajakan dagangannya saat hari odalan tiba. Sedang di pura yang lainnya hanya persembahan banten sederhana yang hanya melibatkan ibu-ibu saja, tidak ada tetabuhan dan penjor besar di gapuranya.

Tajen atau tabuh rah biasanya digelar sehari atau dua hari setelah odalan di Pura Sada dan Bale Gong. Tajen ini biasanya sangat ramai oleh para bebotoh yang datang dari desa-desa sebelah, dan bahkan dari seberang sungai seperti Belumbang, Kerambitan dan Penarukan. Ada beragam permainan selain sabungan ayam, seperti kocokan dadu, bola adil, dan blok kyu. Dagangan juga ada, bahkan terkadang lebih banyak daripada saat odalan. Mereka menjual nasi, tipat cantok, kopi, dan sebagainya.

Ada 2 pura besar lagi tapi tidak berlokasi di banjarku. Mereka adalah Pura Puseh dan Pura Dalem. Odalan di 2 pura ini jauh lebih ramai dari beberapa pura yang kusebutkan sebelumnya. Ini karena penyungsung atau anggotanya dari beberapa banjar di desaku. Odalan di Pura Puseh yang jatuh sehari setelah hari Kuningan sangat kami nantikan. Di sini adalah kesempatan kami untuk memakai baju baru, yang biasanya sudah kami jahit jauh hari sebelumnya di tukang jahit satu-satunya di banjar kami. Ada banyak pedagang mainan, kokek-kokekan, kembang gula, dagang nasi, dan juga mainan kocok dadu, serta bola adil. Selain itu ada juga gong dari 2 banjar dan angklung, serta Jero Gede Teges yang sangat ingin kami lihat tapi takut kalau sudah dekat. Cerita tentang odalan ini akan aku tuliska lebih lengkap pada kesempatan lain.

Waktu kecil, kami anak-anak tidak memakai kain ke pura. Kami memakai celana dan baju yang khusus kami siapkan untuk dipakai ke pura atau ke kota. Baru beberapa tahun belakangan, semenjak adanya slogan Ajeg Bali, anak-anak mulai memakai atau mengenakan kain, baju putih dan destar ke pura.

Bermain

Jadi anak kecil di kampung memang menyenangkan. Banyak permainan yang bisa kami mainkan di sela-sela letih setelah sekolah dan kadang membantu bekerja.

Magala-galaan :
Ini adalah permainan yang terdiri dari 2 regu. Masing-masing regu sebaiknya terdiri dari minimal 3 orang. Satu regu misalnya Regu A menjadi penjaga, satunya lagi misalnya Regu B harus berusaha melewati hadangan regu A. Regu A akan berdiri berderet ke belakang, dengan jarak 3 langkah (sekira 3 meter). Anggota regu B akan berusaha melewati dari deret paling depan, sampai ke belakang, kemudian balik lagi tanpa tersentuh tangan Regu A.

Satu orang berhasil lewat dengan selamat, berarti Regu B pemenangnya. Sebaliknya jika salah satu anggota Regu B berhasil ditangkap (disentuh) oleh Regu A, maka Regu B kalah, dan wajib bertukar menjadi penjaga. Begitu seterusnya. Permainan ini akan menjadi tambah seru jika banyak ada penonton.. Di kiri dan kanan penjaga diberi batas. Regu B tidak boleh lewat ke belakang atau ke depan di luar batas itu. Jika dilanggar akan didiskualifikasi, dan dianggap kalah.

Maalih-alihan (Hide and Seek) :
Permainan ini aku kira terkenal di mana-mana. Satu orang akan menjadi pencari, dan yang lainnya sembunyi. Sebuah pilar atau sebatang pohon agak besar akan ditetapkan sebagai tempat tarikan atau base-nya. Permainan dimulai dengan si pencari menutup matanya, sementara yang lainnya berlari sembunyi secepatnya. Selang beberapa saat, pencarian dimulai. Anggota lain akan berusaha menuju base secepatnya tanpa ditangkap oleh si pencari. Siapa yang ditangkap pertama kali, ia akan mengganti posisi menjadi si pencari.

Jika sampai batas waktu tertentu, si pencari tidak bisa menangkap satu orang pun dan tidak juga bisa menemukan persembunyian peserta lainnya, ia harus menyerah dan kembali menjadi si pencari lagi. Kami biasanya memainkan permainan ini pada malam hari, saat terang bulan purnama. Tak ada perasaan takut sedikit pun agan digigit ular atau terinjak pecahan botol. Kegembiraan kami mengalahkan kekhawatiran…. Selesai permainan, kami terkadang pergi ke sungai untuk mandi atau sekedar membasuh keringat…

Macan-macanan dan congklak :
Ada beberapa jenis macan-macanan yang biasa kami mainkan. Diantaranya, macan ingkut (terdiri 9 bujur sangkar), macan mobil-mobilan, macan derek. Cara mainnya akan aku jelaskan di kesempatan lain.

Kami juga sering main congklak dan bangkal-bangkalan. Untuk bangkal-bangkalan, lobangnya kami buat di tanah menggunakan batu untuk menumbuknya, sedangkan pionnya dari kerikil-kerikil kecil dan pecahan genteng.

Sepak Bola :
Salah satu permainan terfavorit kami adalah sepak bola. Bolanya kami buat dari batang pisang yang sudah kering, yang kemudian kami ikat bagian luarnya menyerupai segi 5 bola sepak beneran. Kami bermain di ladang orang yang tudak digunakan untuk berkebun. Kami teerbiasa berguling-guling di rumput, dan tak pernah kena penyakit gatal. Sepertinya kulit kami sudah sedikit kebal akibat terpaan alam.

Semakin sore, biasanya peserta semakin banyak, begitu juga dengan penontonnya. Pemain dan penonton bukan hanya anak-anak, tapi orang dewasa pun ikut serta, apalagi saat musim kemarau atau menjelang panen, dimana kegiatan di sawah sementara dihentikan. Kami semua warga desa larut dalam sorak sorai gembira…

Berenang dan Meceburan :
Permainan lain adalah berenang di sungai. Karena kami tinggal di desa pinggiran sungai, semua kami dilatih berenang sejak kecil. Kami harus bisa berenang, karena kalau tidak, kami tidak akan diajak main oleh teman-teman.

Disamping berenang, kami juga punya permainan uji nyali yaitu terjun ke air dari batu atau pohon dengan ketinggian 3-5 meter. Siapa yang tidak berani, akan diolok-olok atau akan dipaksa oleh teman-teman. Jadi kami harus punya nyali juga… he he….

Pisang-pisangan :
Sehabis belajar berkelompok, biasanya kami mau permainan ringan. Kami suka mebiyu-biyuan, atau pisang-pisangan. Cara mainnya, semua peserta akan menamai dirinya dengan nama pisang, seperti Biyu Kayu, Biyu Sabit, Biyu Gedang, Biyu Dak Raja, Biyu Mas, Biyu Kate, Biyu Batu, Biyu Keladi, dan sebagainya.

Setelah melakukan suit atau hompimpa, yang kalah akan menjadi si pencari. Peserta lainnya akan berkumpul bersama di halaman, kemudian ditutup menggunakan selimut. Setelah siap, si pencari akan mulai meraba-raba dari atas selimut, lalu menebak nama pisang orang yang dipegangnya. Ia hanya bisa menebak 3 kali. Kalau tidak berhasil, ia akan menjadi si pencari lagi. Jika ada yang ketebak dengan benar, maka ia menggantikan posisinya menjadi si pencari.

Masih ada beberapa permainan lain yang belum sempat kuceritakan. Aku akan mencobanya di lain waktu…..

Belajar Mencari Uang

Sebagai anak petani kampung, aku harus ikut rekan-rekan kami mencari penghasilan. Ada beberapa yang biasanya kami lakukan :

Munuh :
Munuh adalah mencari sisa-sisa gabah atau bulir padi yang tertinggal setelah panen dilakukan pemiliknya. Sehabis makan siang setelah pulang sekolah, aku ambil niru dan sebilah bambu khusus untuk merontokkan padi, lalu berangkat ke sawah di sebelah Barat desaku. Tak kulupakan baju tangan panjang dan topi bambu yang sedikit lebar penahan terik mentari.

Bergegas aku mencari tumpukan jerami yang sudah ditinggalkan pemiliknya, karena panen mereka usai. Dari balik tumpukan itu, aku kumpulkan satu demi satu biji gabah ke atas niru yang aku bawa. Setelah terkumpul, aku membersihkannya, lalu meniriskannya melalui desir angin agar bersih. Setelahnya, aku masukkan ke karung kecil yang aku siapkan. Setengah hari, biasanya aku bisa kumpulkan 2-3 kilo gabah basah. Langsung aku jual ke pengepul, dan uangnya aku belikan segelas susu panas dan sebungkus roti.

Mengumpulkan Pasir :
Jika panen usai, kami biasa mencari atau mengumpulkan pasir di sungai. Bukan di sungai Lambukku, melainkan di sungai Yeh Ho, yang berjarak sekitar 1 km dari rumahku. Peralatan yang aku siapkan adalah sekop, ayakan, dan ceper atau penampung. Setelah terkumpul beberapa ceper, pasir kujual ke pengepul, dan mereka akan menjual lagi setelah terkumpul minimal 1 truk. Seperti biasa, uangnya kujadikan segelas susu dan sebungkus roti.

Memecah Batu :
Pekerjaan lain yang tersedia adalah memecah batu kerikil, menjadi batu kek atau gladag. Nenek bersamaku untuk pekerjaan ini. Batu pecah ini diperlukan untuk pengaspalan jalan, sebelum ada sistem hotmix. Kami harus mengambil batu di sungai Lambuk atau Yeh Ho, ceper demi ceper, atau bakul demi bakul. Kemudian memecahnya dengan palu. Setelah terkumpul agak banyak, baru bisa dijual. Beda dengan gabah dan pasir, batu pecah ini tak bisa kami jual setiap hari, jadi aku harus bersabar untuk minum susu dan makan roti. Biasanya kami baru bisa mengumpulkan setengah M3 dalam waktu satu minggu.

Menaikkan atau menurunkan batu, pasir atau kek :
Pekerjaan lain yang tersedia untuk anak-anak sepertiku adalah menaikkan atau menurunkan batu, pasir, atau kek ke dan dari truk. Kami hanya bisa sebagai pembantu untuk pekerjaan ini, karena tenaga kami tidak cukup kuat untuk melakukannya. Namun demikian, kami bisa merasakan susahnya mencari dan mengumpulkan uang. Terkadang, kami ikut diajak menurunkan bahan-bahan itu ke desa yang jauh seperti Guniyang, Selemadeg. Upahnya langsung bisa kami terima saat pulang, jadi langsung bisa kubelikan segelas susu dan roti.

Ada beberapa pekerjaan lain yang kadang aku ambil, misalnya menjual ikan atau kepiting hasil tangkapan, menjual nangka dengan sistem bagi hasil (bisa menjual 3 sisir mendapat upah 1 sisir), menjualkan pepes hiu, menjualkan kroto atau telur semut merah, dan sebagainya. Aku menikmati semua pekerjaan-pekerjaan itu tanpa menyadari kalau semua itu akan sangat berguna saat aku menghadapi kerasnya hidup di hari-hari selanjutnya. Satu hal yang aku petik adalah “Mengeluh dan menyalahkan bukanlah sebuah pilihan.”

Blauk

Capung biasanya bertelur di sawah, dan menetas dalam beberapa hari. Anak atau larva capung ini dikenal dengan Blauk di desaku. Waktu kecil,  Nenek sering mengajakku menangkap Blauk di persawahan seberang Lambuk. Alat penangkapnya adalah Cekot, atau serok kecil bertangkai panjang.

Blauk biasanya diam di cerok kecil yang masih tergenang air saat sawah dikeringkan. Kami menangkapnya sambil berdiri di pematang. Atau kalau habis panen, kami bisa turun ke sawah, lalu mengambil blauk dengan dua tangan yang disatukan. Untuk waktu penangkapan selama satu jaman, kami biasanya mendapat cukup Blauk untuk makan sore berdua. Rasanya sedikit lebih enak dari capung panggang atau pepes daun kunyit.

Sama seperti ikan dan udang di sungai, kini sangat sulit menemukan Blauk di desaku. Mereka hampir punah ditelan derasnya penggunaan pestisida yang aku rasa berlebihan. Aku rindu Blauk-Blauk datang lagi….

Kolam Susu

Lauk pauk sebenarnya bukan masalah di desaku. Saat aku masih bocah, masih banyak ikan, udang, kepiting dan siput tersedia di sungai Lambuk yang terletak 100 meteran di belakang rumahku. Berbagai cara bisa kami lakukan untuk menangkapnya.

Ngenyat :
Sesuai namanya, ngenyat adalah membuat “nyat” atau kering, yaitu dengan membendung aliran sungai menuju tibu atau palung kecil, kemudian membuang air palung itu ke hilir, hingga kering atau hampir kering, kemudian menangkap semua ikan, udang, atau kepting yang ada di sana. Ini sangat mudah dilakukan bila air sungai lagi mengecil karena lama tidak turun hujan di hulu. Untuk membendung airnya, kami gunakan tanah liat yang kami ambil di persawahan di seberang sungai. Jika lagi mujur, kami bisa mendapat ikan dan kepiting yang cukup untuk makan sekeluarga selama 2 atau 3 hari.

Mengkang :
Mengkang adalah menangkap kepiting dengan umpan cacing tanah. Cacing tanah ditusuk dengan lidi untuk kemudian dibuat menggantung diujung benang nylon atau benang khusus pancing. Panjang tusukan cacing tanah antara 10-30 cm. Untuk membuatnya tenggelam, kami gunakan tanah liat yang dikepal, lalu ditaruh diujung atas tusukan cacing tanah. Alat mengkang ini kami sebut Pengkangan. Pengkangan ditaruh sekitar 5 menit di palung yang agak dalam, lalu diangkat. Jika mujur, satu atau beberapa kepiting akan ikut terangkat saat mereka makan cacing tanah itu.

Mekena :
Mekena adalah memasang bubu dari anyaman bambu dengan umpan di dalamnya. Umpannya adalah nasi putih diuleg, dicampur daun kesimbukan dan dedak halus. Bubu dipasang menghadap ke hilir di tempat yang kira-kira menjadi jalan udang atau ikan lain pada sore hari. Esok paginya bubu diangkat. Jika mujur, akan ada beberapa udang, ikan atau kepiting terperangkap di dalamnya.

Mancing :
Mancing sangat umum dilakukan. Hal yang harus diperhatikan adalah jenis pancing yang digunakan. Jika ingin mendapat udang, kami menggunakan pancing udang. Untuk mendapatkan ikan patin, digunakan pancing khusus ikan patin. Begit juga dengan lele, tawes, nyalean, dan sejenisnya.

Ngogo :
Ngogo adalah menangkap kepiting atau udang langsung di bawah air. Mereka biasanya tinggal di bawah batu, di kumpulan daun-daun yang tenggelam, batok kelapa atau potongan bambu yang tenggelam. Jika lagi musimnya, aku bisa mendapat banyak kepiting dalam 30 menit.

Masang Bronjong :
Bronjong adalah bubu besar, panjangnya sekira 1 sampai 1,5 meteran. Beda dengan bubu yang dipasang menghadap ke hilir, bronjong dipasang menghadap ke hulu, di aliran air yang sedikit terjun. Jika lagi musim kepiting hanyut (sekitar bulan April), kami bisa mendapat seember kepiting di pagi hari, setelah membiarkan bronjong terpasang semalaman.

Nyau :
Nyau atau menjaring ikan dengan anyaman benang bertangkai bambu dan kayu. Ini kami lakukan saat banjir baru saja tiba. Ikan ikan yang hanyut dari hulu, kami jaring di tepian sungai yang tidak terlalu deras. Biasanya kami bisa tangkap udang, ikan nyalean, atau terkadang ikan lele serta tawes.

Mencar :
Mencar adalah menangkap ikan dengan jala yang dilemparkan ke palung atau bagian sungai yang landai. Jika mujur, akan ada satu atau beberapa ikan dan udang yang terperangkap.


Akhir-akhir ini, mulai agak susah menemukan ikan di sungai Lambuk. Ini karena banyak yang menangkap mereka menggunakan cara-cara terlarang, seperti menyetrum, meracun menggunakan portas, serta “ngenyat” menggunakan pompa air besar. Sebab lain juga karena berkurangnya batu-batuan di bagian hilir, karena diambil untuk membuat bangunan atau dijual oleh masyarakat sekitar.

Sedih, Lambukku kini bukan lagi kolam susu, ikan dan udang menjauhi diriku……

Nyapung

Salah satu kegiatan masa kecilku adalah “nyapung”, yaitu menangkap capung (atau dragonfly dalam Bahasa Inggris). Beberapa cara menangkapnya diantaranya menggunakan lem yang diambil dari getah pohon kamboja, getah nangka, atau lem dari pohon kayu santen. Ini kulakukan dengan mengintip capung yang lagi bertengger di dahan pohon atau daun rumput, lalu menempelkan lem yang ditaruh diujung lidi (biasanya diberi tangkai bambu agar bisa menjangkau tempat yang tinggi), kemudian setelah capung menempel segera kutangkap, lalu ditusuk dengan lidi muda.

Khusus untuk capung gantung, aku tak perlu susah-susah, karena bisa langsung menangkapnya dengan memegang ekornya saat ia sedang tidur menggantung di dahan pohon…. Tapi kalau posisinya tinggi, aku bisa menggunakan lem getah yang aku bawa.

Cara lain adalah dengan menggunakan capung kecil (namanya aku lupa) sebagai umpan, dengan mengikatnya di ujung lidi muda, lalu menggoyang-goyangkannya di depan capung bangkok yang dijadikan sasaran. Jika capung bangkok itu lapar, ia akan segera menyambar capung kecil itu, dan aku harus segera menangkapnya sebelum ia terbang lagi. Cara ini disebut “nangtung” di desaku. Nangtung ini biasanya dilakukan di pagi hari, sekitar jam 8-10.

Ada nyanyiannya lho :

Tung tung cilantung, cilantung, men barak men barak ngubuh bangkung, tonden buang suba beling, … sanderin – sanderin…..

sol sol do la sol, do la sol, mi mi mi mi mi mi sol sol mi sol, re mi fa mi sol mi re do… mi re do … mi re do …

Artinya kurang lebih : Tung tung cilantung cilantung Ibu merah Ibu merah memelihara induk babi, belum birahi sudah hamil, disambar-disambar….

Dengan lagu ini biasanya capung bangkok akan segera menyambar capung kecil yang aku jadikan umpan.

Aku biasa “nyapung” dengan beberapa teman, berkeliling di sepanjang jalan desa, kadang ngumpul di Balai Banjar (semacam balai desa), atau masuk ke ladang orang yang ada rumput atau banyak dahan-dahan pohonnya.

Jika capung sudah banyak di tusukan, aku akan segera pulang, kemudian membakar atau  memanggang capung-capung malang itu di atas bara api, lalu memakannya. Kadang aku suruh Nenek menjadikannya pepes, dengan bumbu daun kunyit.