Sayur Favoritku

Ada beberapa menu sayur tradisional yang aku sukai :

Sayur daun kelor :

Sayur ini biasanya dibuat nenek dengan memetik dau kelor dari pohon di belakang dapur. Setelah tulang daun disisihkan, kelor direbus dengan air yang tidak terlalu banyak. Setelah mendidih, dimasukkan bumbu yang telah dihaluskan, terdiri dari bawang merah, bawang putih, cabe, kunir, kencur, dan kelapa. Biarkan mendidih sekali lagi, dan sayur daun kelor siap dihidangkan.

Daun talas :

Daun talas diambil nenek dari kebun di belakang rumah. Cara membuatnya kurang lebih sama dengan sayur daun kelor. Agar bervariasi, biasanya nenek menambahkan sedikit kacang panjang, pelepah talas, dan juga daun kacang panjang. Selain mengambil dari kebun di belakang rumah, nenek terkadang mengambil daun talas dari tepian parit di sawah seberang sungai. Daun talas ini biasanya disebut candung, dan rasanya menurutku jauh lebih enak dari daun talas yang diambil di belakang rumah.

Daun paku atau pakis :

Ini adalah sayur favoritku juga. Nenek biasanya mengambil pucuk pakis di tepian sungai Campuan, sekitar 1 kilometer dari rumahku. Cara memasaknya adalah dengan tumisan bawang merah, bawang putih, dan cabai.

Belega :

Belega adalah sejenis mentimun yang tumbuh di belakang rumah dan merambat di pohon dekat pagar. Buahnya yang muda sangat enak dibuat sayur dengan cara ditumis. Sekarang sedikit susah mencari belega. Kalau aku lagi pingin, aku suruh istriku menggantinya dengan mentimun saja.

Jamur :

Waktu aku kecil, masih banyak jenis jamur atau “oong” yang tumbuh di tegalan belakang rumahku. Ada oong padang, oong jagung, oong gajih, oong kuping, oong kunyit, dan terkadang oong ngihngihan yang biasanya tumbuh di bekas rumah laron. Oong ngihngihan inilah yang menurutku paling enak, selain oong somi atau jamur merang. Selain dibuat sayur, oong juga enak dibuat pepes dan nenek sering membuatnya kalau jamur yang didapat hanya satu atau dua saja.

Daun ketela rambat :

Daun ketela rambat yang masih muda juga enak dibuat sayur. Caranya dengan merebusnya, lalau diisi bumbu kelapa panggang yang diparut dicampur tumisan bawang merah, bawang putih dan cabai.

Buah-Buahan Kampung

Sebagai anak kampung, banyak hal yang bisa kami lakukan untuk mencari makanan gratis. Salah satunya adalah mencari buah-buahan. Berikut buah-buahan yang biasanya kami cari dan kami makan :

Boni :
Boni tumbuh di banyak tempat di kampungku. Saat aku kecil, aku bisa mengambilnya dengan bebas, tapi sekarang rupanya tidak bisa lagi, karena sudah memiliki nilai ekonomi, jadi diual oleh pemiliknya.

Ada dua jenis yang aku ingat namanya, yaitu boni nasi dan boni tulang. Boni nasi buahnya agak besar dan bijinya kecil, sedang boni tulang buahnya agak kecilan dan bijinya agak besar. Dalam satu tangkai buah, bisa terdiri dari 10 sampai mungkin 100 biji. Nanti kalau sudah ada gambarnya, aku sediakan di sini.

Boni bisa dimakan saat ia masih hijau, mulai berwarna putih, dan juga saat sudah merah dan hitam atau betul-betul matang. Rasanya dari sepat, masam, hingga manis. Bisa dibuat rujak, atau dimakan langsung juga.

Juwet : 
Juwet juga tumbuh di banyak tempat di desaku. Buahnya lonjong berbiji tunggal. Paling banyak di pinggiran sungai Lambuk atau Yeh Ho. Atau di pangkung-pangkung Subak Lanyah. Berbeda dengan Boni yang bisa dimakan sejak masih hijau, juwet harus ditunggu sampai matang dan berwarna hitam dulu, baru bisa dimakan.

Kami biasa naik sampai ke puncak pohon untuk mencari buah Juwet yang memang betul-betul matang. Kami tidak mau memakannya di atas pohon, karena ada mitos kalau makan banyak bisa jatuh. Betul juga, mungkin karena kenyang dan bisa ngantuk…..

Engkem :
Engkem biasa tumbuh di pagar-pagar atau kadang di tengah ladang juga. Buahnya bulat kecil seperti cherry, berbiji banyak. Warnanya dari hijau, merah, kemudian kalau betul-betul matang berwarna hitam. Rasanya dari sepat, lalu berubah semakin manis. Pohonnya berduri, jadi untuk mengambil buahnya harus extra hati-hati kalau tak mau ketusuk. Kalau buah engkem ini bisa diambil bebas sampai sekarang, karena setahuku ia tak pernah dijual di warung atau di pasar. jadi kalau aku pulang kampung, kadang aku sempatkan berkeliling mencari buah engkem di pagar-pagar ladang tetangga atau di pinggir sungai Lambuk….

Soni :
Soni tumbuh sebagai pohon pagar. Berduri kecil-kecil, buah lonjong semula hijau, merah, kemudian hitam kalau sedah matang. Daging buahnya berwarna putih dengan beberapa biji hitam kecil-kecil. Rasa daging buahnya manis kalau sudah betul-betul matang, namun baunya sedikit aneh, mendekati durian atau markisa. Sampai sekarang soni masih bisa didapatkan di beberapa bagian pagar belakang rumahku.

Mangga :
Mangga bisa tumbuh subur dan berbuah lebat di desaku. Saat aku kecil, mangga belum begitu dihiraukan oleh pemiliknya. Aku biasa mencarinya di pinggir sungai atau di ladang-ladang tetangga. Caranya dengan naik pohonnya atau melemparnya dari bawah dengan rantig kayu atau batu. Jika buahnya masih muda, kami bisa buat rujak atau langsung memakannya dengan garam, cabe dan terasi yang sudah kami siapkan dari rumah. Jika sudah matang, akan langsung kami makan tanpa menggunakan pisau untuk mengirisnya.

Sekarang, mangga sudah menjadi komoditi yang bisa dijual, jadi tidak bisa kami ambil dengan mudah seperti dulu. Ada beberapa pohon mangga di pinggir sungai yang pemiliknya dari desa yang jauh, jadi masih ada chance untuk mencurinya… hehe…

Ada beberapa buah lain yang bisa kami ambil bebas dan langsung dimakan, seperti jambu biji, jambu air, asam, buah pungut, buah rotan, buah badung, dan beberapa lainnya. Nanti kalau ada, akan aku tambahkan lagi….

Buah Lainnya :

Selain buah-buahan di atas, aku juga terkadang mencari buah tengulun, buah rotan atau penyalin, dan buah badung di seberang sungai Lambuk. Ada juga buah mundeh yang satu-satunya aku ingat tumbuh di area Pura Manik Janglap di banjar Kebon. Buah-buahan lain yang bisa dimakan adalah buah pungut, dan lempeni yang biasa tumbuh di pagar-pagar dan di pinggir sungai.

Blauk

Capung biasanya bertelur di sawah, dan menetas dalam beberapa hari. Anak atau larva capung ini dikenal dengan Blauk di desaku. Waktu kecil,  Nenek sering mengajakku menangkap Blauk di persawahan seberang Lambuk. Alat penangkapnya adalah Cekot, atau serok kecil bertangkai panjang.

Blauk biasanya diam di cerok kecil yang masih tergenang air saat sawah dikeringkan. Kami menangkapnya sambil berdiri di pematang. Atau kalau habis panen, kami bisa turun ke sawah, lalu mengambil blauk dengan dua tangan yang disatukan. Untuk waktu penangkapan selama satu jaman, kami biasanya mendapat cukup Blauk untuk makan sore berdua. Rasanya sedikit lebih enak dari capung panggang atau pepes daun kunyit.

Sama seperti ikan dan udang di sungai, kini sangat sulit menemukan Blauk di desaku. Mereka hampir punah ditelan derasnya penggunaan pestisida yang aku rasa berlebihan. Aku rindu Blauk-Blauk datang lagi….