Dukuh Pulu

Waktu sekolah di SMPN 1 Selemadeg Timur (dulu SMPN Bantas), aku tinggal di Banjar Dukuh Pulu Kaja. Lokasinya sekitar 3 kilometer arah Selatan dari sekolahku. Aku tinggal di sana cukup lama, sekitar 2,5 tahun. Tuan rumahku adalah keluarga Pan Wira. Adalah Mbah Suandri, nenek jauhku yang membawa dan memperkenalkanku ke sana. Mereka tidak ada hubungan keluarga apalagi bersaudara. Hubungan mereka hanya sebatas teman, karena mereka pernah berobat dan tinggal opname bersama-sama di sebuah klinik kecil di desa Mambang beberapa tahun berselang. Mungkin karena mereka merasa senasib dan pernah saling bantu selama di klinik itu, mereka kemudian melanjutkan pertemanan mereka bahkan sampai saat ini.

Keluarga Pan Wira adalah keluarga petani sederhana. Walau tidak terbilang keluarga mampu secara materi, namun menurut penilainku, hidup mereka waktu itu cukup bahagia dan mampu memenuhi hampir semua kebutuhan mereka. Pan Wira dan Men Wira adalah petani pekerja keras. Mereka pergi ke sawah pagi-pagi dan baru pulang setelah matahari terbenam. Disamping bekerja sebagai petani, Men Wira juga terkadang pergi ke pasar Kerambitan untuk menjual kayu bakar, pisang, janur, minyak goreng, kelapa, dan sayur mayur hasil kebun mereka. Ia pergi ke pasar dengan berjalan kaki, berangkat jam 5 pagi dan baru tiba kembali di rumah sekitar jam 12 siang.

Kakek dan Nenek Wira juga orang-orang pekerja. Nenek biasa bangun sekira jam 4.30 pagi untuk menyiapkan sarapan kami (termasuk aku tentunya) yang harus berangkat pagi-pagi. Sedangkan kakek setiap hari sibuk membuat peralatan masak dari bambu, seperti kukusan, bakul nasi, niru dan tempeh. Kakek juga terkadang membuat capil atau tutup kepala, semat untuk merajut janur, dan sapu lidi dari janur yang sudah tua. Semua yang dibuat kakek biasanya dijual ke pasar bersamaan dengan hasil kebun, atau terkadang juga ada pengepul yang mengambilnya ke rumah.

Disamping nasi sebagai makanan utama, nenek selalu menyajikan sayur, ikan, dan sambal sebagai lauk-pauk.  Aku sangat senang, karena aku sangat suka ikan, apalagi udang. Waktu itu ikan dan udang sangat mudah didapat. Kami biasa mencarinya di tukad atau sungai Lambuk atau di parit-parit yang mengairi sawah-sawah kami. Berbagai cara kami gunakan untuk menangkap ikan, seperti memasang bubu atau icir, memancing, menebar jala, ngenyat atau mengeringkan lubuk.

Selain ikan, nenek terkadang menghidangkan belut, kakul dan daging burung atau tupai. Belut didapat dengan memasang bubu, memancing, nyundih di malam hari, atau menggali tanah sawah. Kakul sangat mudah didapat, yaitu hanya dengan mengambilnya dari sawah di sore hari. Sedangkan burung dan tupai didapat dengan menembaknya menggunakan katapel. Pan Wira adalah seorang master dalam menggunakan katapel ini, sehingga hampir setiap hari ia membawa burung kukur, kokokan atau tupai sepulang dari sawah.

Sebagaimana umumnya keluarga petani di Bali, keluarga Pan Wira juga memelihara sapi dan babi. Sapi-sapi dipelihara di tanah ladang yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah, sedangkan babi dibuatkan kandang di belakang dapur. Sepulang sekolah, aku biasanya ikut membantu memberi sapi makan dan membawanya minum serta mandi di sebuah kolam kecil di tengah ladang. Makanan sapi tidak sulit didapat, karena di ladang ada lahan rumput yang cukup luas. Jadi kami tinggal memindah-mindah lokasi tambatan sapi dari satu tempat ke tempat lainnya.

Karena jarak yang lumayan jauh, aku pergi ke sekolah naik sepeda ontel. Namun terkadang aku berjalan kaki karena sepeda sedang bermasalah, atau saat hujan turun sebelum aku berangkat. Disamping sebagai sarana angkutan, ternyata sepeda juga membantu menambah tinggi badanku. Sekedar diketahui, saat mulai sekolah di SMPN Bantas, aku termasuk anak dengan ukuran mini. Kurus, kecil dan belum bisa duduk di jok sepedaku. Namun setelah beberapa lama naik sepeda, kakiku sepertinya segera bertambah panjang dan aku segera bisa mengayuh sepedaku dari atas joknya.

Saat musim sawo dan mangga tiba, aku berusaha bangun lebih pagi. Tujuanku agar bisa mengambil sawo atau mangga yang jatuh di bawah pohonnya. Kalau lagi beruntung, aku bisa mengumpulkan beberapa butir sawo dan mangga untuk dikumpulkan dan dibawa pulang kampung pada hari Sabtu sebagai oleh-oleh untuk nenekku. Selain buah-buahan itu, aku juga mengumpulkan daun cengkeh kering serta buah jebug untuk campuran boreh dan nginangnya. Nenek biasanya sangat senang dengan oleh-oleh yang aku bawa, disamping karena kehadiranku memang sangat dinantikannya.

Dukuh Pulu menyisakan banyak kenangan untukku. Aku sangat bersyukur karena telah berkesempatan hidup di tengah orang-orang yang mencintaiku dengan tulus, walau mereka bukan saudara atau keluargaku. Kini kakek sudah tiada. Nenek juga hanya bisa terbaring lemah di tempat tidurnya. Aku hanya bisa berdoa, semoga kebaikan dan kemudahan selalu bersama mereka semua.

Hidup Itu Ternyata Mudah

Anda ingin hidup mudah dan bahagia? Jika iya, mungkin cerita ini bisa menginspirasi :

Hidup itu mudah. Mengapa kita membuatnya begitu susah?

Ada satu ungkapan yang selalu ingin saya katakan kepada siapa saja dalam hidup ini, yaitu “Hidup itu mudah.” Begitu mudahnya dan menyenangkan pula. Saya baru menyadari kenyataan ini setelah saya mencoba hidup di Bangkok beberapa tahun silam, yang mana pada waktu itu hidup saya terasa begitu susah, begitu rumit.

Saya terlahir dari sebuah keluarga miskin di Timur Laut Thailand. Saat saya masih kanak-kanak, semua terasa mudah dan menyenangkan. Namun sejak adanya televisi, banyak orang datang ke desa saya, dan mengatakan. “Kamu miskin, kamu harus mencari kesuksesan, kamu harus pergi ke Bangkok untuk bisa sukses dalam hidupmu.” Dan saya merasa tidak enak, saya merasa miskin, dan saya pikir saya harus pergi ke Bangkok.

Ketika saya pergi dan tinggal di Bangkok, ternyata tidak begitu menyenangkan. Saya harus belajar, belajar yang giat dan bekerja sangat keras untuk meraih apa yang disebut sukses itu. Saya bekerja keras minimal 8 jam per hari, namun apa yang bisa saya makan hanyalah semangkok mie, sepiring nasi goreng atau yang sejenisnya. Dan tempat tinggal saya pun sangat tidak layak, sebuah ruangan kecil yang terasa panas dengan begitu banyak orang tidur di dalamnya. 

Saya mulai bertanya-tanya, kenapa setelah bekerja keras hidup saya begitu susah? Ini pasti ada yang salah, karena saya menghasilkan banyak untuk perusahaan tempat saya bekerja, tapi pendapatan saya tidak pernah cukup. Akhirnya saya mencoba untuk kuliah di universitas. Tapi sangat sulit untuk belajar di universitas, karena sangat membosankan bagi saya. Dan ketika saya melihat materi yang diajarkan, di setiap fakultas, kebanyakan berupa ilmu pengetahuan yang merusak. Tidak ada materi pelajaran tentang memproduksi sesuatu yang berguna untuk saya. Bahkan menurut saya, pelajaran seperti arsitek atau teknik sipil misalnya, akan membuat kerusakan lebih banyak lagi. Dan tanah-tanah yang bagus dan subur di lembah sungai Chao Phraya akan lebih banyak lagi yang berubah menjadi bangunan-bangunan beton. Saya tak ingin ikut merusaknya lebih banyak dan lebih parah lagi.  

Jika saya belajar di fakultas pertanian misalnya, saya akan diajari bagaimana cara meracun (hama dan gulma), menambah toksin penyubur, yang pada gilirannya hanya akan merusak tanah, air dan semua yang tumbuh di atasnya. Saya akhirnya berpikir, mengapa semua yang kita lakukan begitu susah, begitu rumit. Dan ternyata kita lah yang membuat semua ini menjadi susah. Hidup begitu susah dan saya merasa kecewa.

Saya kemudian mulai bertanya-tanya, mengapa saya harus berada di sini, di Bangkok? Saya teringat waktu saya masih kecil, tak ada orang yang bekerja delapan jam per hari. Semua orang bekerja hanya dua jam per hari, dua bulan per tahun, satu bulan menanam padi, satu bulan berikutnya memanen. Sisanya adalah waktu luang, sepuluh bulan waktu luang. Karena itu maka ada demikian banyak festival di Thailand, setiap bulan ada festival, karena mereka memiliki banyak waktu luang.

Saat itu, pada siang hari, semua orang bahkan punya waktu untuk istirahat tidur siang. Bahkan di Laos, jika Anda berkesempatan pergi ke Laos, sampai sekarang orang masih bisa istirahat tidur setelah makan siang. Dan setelah bangun, mereka hanya ngobrol-ngobrol atau cerita-cerita tentang bagaimana ponakanmu, bagaimana istrimu, bagaimana cucumu. Mereka punya banyak waktu, dan karena itu mereka bisa menikmati keseharian mereka bersama-sama keluarga dan orang-orang tercinta. Dari kebersamaan itu, mereka bisa mengerti bahwa yang mereka butuhkan dalam hidup ini adalah kebahagiaan, cinta, dan waktu untuk menikmati hidup ini bersama orang-orang yang mereka kasihi.

Jadi mereka bisa melihat banyak keindahan dalam hidup mereka, dan mereka megekspresikan keindahan itu dalam banyak cara. Beberapa orang mengukir gagang pisau dengan sangat indah, menganyam bakul, tikar, atau keranjang dengan sangat cantik. Tapi sekarang sangat jarang orang yang melakukannya, sangat jarang orang yang bisa dan punya waktu untuk melakukannya. Orang-orang menggunakan plastik dimana-mana. Jadi saya pikir ada yang salah di sini. Saya tidak bisa hidup dengan cara seperti ini. Jadi, saya memutuskan mengakhiri kuliah saya, dan pulang kampung.

Makan

Di kampung, saya memulai hidup seperti yang saya ingat, seperti saat saya masih kanak-kanak. Saya mulai bekerja dua bulan setahun. Saya meghasilkan empat ton gabah atau bulir padi. Kami ber-enam, hanya menghabiskan kurang dari setengah ton per tahun, jadi kami bisa menjual sisanya yang masih lumayan banyak.

Kami membuat dua kolam ikan, dan kami mempunyai ikan yang cukup untuk dimakan sepanjang tahun. Lalu kami memulai sebuah kebun kecil, kurang dari 40 are atau 4000 meter persegi. Saya menyediakan  15 menit per hari untuk kebun itu. Kami memiliki sekitar 30 macam sayuran di kebun, dan hasilnya lebih dari cukup untuk dimakan oleh kami berenam. Kami menjual sisanya di pasar, dan mendapatkan penghasilan yang lumayan darinya.

Jadi saya pikir hidup ini ternyata sangat mudah, mengapa saya harus tinggal di Bangkok selama tujuh tahun, bekerja keras, dan kemudian hasilnya bahkan tidak cukup untuk makan sendiri? Di sini, di kampung, saya hanya perlu dua bulan dalam setahun, 15 menit per hari, saya bisa menghidupi enam orang. Begitu mudah, bukan?

Rumah

Saat di Bangkok, saya sangat khawatir kalau saya tidak akan bisa punya rumah. Coba bayangkan, teman saya yang lebih pintar daripada saya, yang mendapat juara satu setiap tahun di kelas waktu saya SD, yang sudah mendapatkan pekerjaan yang lumayan bagus, membutuhkan sekitar 20 tahun untuk memiliki sebuah rumah. Bagaimana dengan saya, yang tidak tamat kuliah, bagaimana saya bisa punya rumah? Saya pikir orang-orang tanpa pendidikan bagus seperti saya tidak punya harapan untuk bisa memiiki rumah.

Tapi kemudian, saya mendapat ide untuk membuat rumah dari tanah. Sangat mudah ternyata. Saya menghabiskan dua jam per hari, dari jam 6 sampai jam 8 pagi selama tiga bulan, dan rumah tanah saya sudah jadi. Teman saya yang tadi, juga menghabiskan waktu tiga bulan untuk membangun rumahnya, tapi ia harus mencicilnya selama 20 tahun. Jadi kalau dibandingkan dengan dia, saya mempunyai waktu luang 19 tahun 10 bulan lebih banyak darinya. Jadi saya pikir, memiliki rumah itu sebenarnya sangat mudah. Dan saking mudahnya, setiap tahun saya membangun paling tidak satu rumah. Sekarang, saya tidak punya uang, tapi saya punya banyak rumah. Masalah saya sekarang adalah di rumah yang mana saya harus tidur nanti malam? Hehe…

Jadi, rumah sebenarnya bukan masalah yang sulit. Setiap orang bisa membangun rumahnya sendiri. Anak-anak umur 13 tahun, di sekolah, jika mulai membuat bata bersama, kemudian membangun, dalam satu bulan mereka akan bisa memiliki perpustakaan sekolah. Jadi, anak-anak bisa membuat rumah, seseorang nenek tua bisa membuat pondok untuk diri mereka. Siapa saja bisa membuat rumahnya sendiri, begitu mudah dan sederhana.

Pakaian

Saya merasa miskin, saya merasa tidak tampan atau ganteng. Suatu ketika, saya ingin mencoba untuk berpakaian seperti orang lain, seperti bintang film, untuk membuat diri saya terlihat lebih baik. Saya menghabiskan satu bulan untuk mengumpulkan uang untuk membeli seperangkat jeans. Saat saya memakainya, saya hadap kiri, hadap kanan, serta memutar di depan cermin. Setiap saya melihat bayangan saya, saya ternyata masih orang yang sama. Seperangkat pakaian yang paling mahal ternyata tidak bisa mengubah hidup saya. Saya merasa bersalah, kenapa saya harus membelinya dengan uang simpanan yang saya kumpulkan selama sebulan.

Saya mulai berpikir lebih banyak lagi karenanya. Mengapa kita harus mengikuti mode? Sedangkan jika kita mengikuti, kita tidak akan bisa mengejarnya, karena kita terus hanya mengikutinya saja di belakang. Jadi saya putuskan untuk tidak mengikutinya, dan mulai memakai apa yang saya miliki saja. Nah, sejak saat itu, kurang lebih sudah 20 tahun sekarang, saya tidak pernah membeli pakaian. Semua pakaian yang saya kenakan, adalah pakaian yang ditinggalkan oleh orang-orang. Ketika orang datang mengunjungi saya, mereka meninggalkan banyak pakaian di tempat saya, jadi saya mempunyai berton-ton pakaian sekarang. Dan ketika mereka melihat saya memakai pakaian yang sangat lusuh, mereka memberi saya lebih banyak lagi. Jadi masalah saya sekarang adalah siapa yang harus saya berikan pakaian yang begitu banyak itu, hehe…

Dan saat saya berhenti membeli pakaian, saya pikir seharusnya bukan hanya pakaian saja; semua kebutuhan hidup harusnya saya perlakukan seperti itu. Ketika akan membeli sesuatu, saya harus yakinkan, apakah karena saya menginginkannya atau karena saya memang benar-benar membutuhkannya? Jika karena menginginkannya saja, dan tidak benar-benar membutuhkan, saya tidak seharusnya membelinya. Saya merasa lebih memiliki kebebasan dengan pola pikir seperti ini.

Kesehatan

Untuk masalah kesehatan, saya sempat khawatir pada awalnya. Jika saya sakit, apa yang akan saya lakukan, sedangkan saya tidak punya uang? Saya mulai merenung. Sebenarnya sakit adalah sesuatu yang normal, dan bukan sesuatu yang buruk. Sakit mengingatkan kita, bahwa kita telah melakukan sesuatu yang keliru dalam hidup kita.

Ketika saya sakit, saya perlu istirahat dan melihat kembali diri saya. Saya mulai mengingat-ingat apa yang telah saya lakukan secara tidak sesuai dengan yang seharusnya. Saya belajar menggunakan air untuk penyembuhan, menggunakan tanah untuk penyembuhan, dan menggunakan pengetahuan dasar untuk melakukan penyembuhan. Dan saya bersyukur dengan cara sederhana, saya masih bisa hidup sehat sampai sekarang.

*************************

Dengan demikian, ada empat hal utama yang harus saya penuhi dalam hidup saya yaitu makan, rumah, pakaian, dan kesehatan. Karena sekarang keempatnya sudah terpenuhi, saya merasakan kebebasan dalam hidup saya, saya pikir tidak ada yang perlu saya takutkan lagi, saya bisa melakukan apa saja dalam hidup saya.  

Sebelumnya, hidup saya penuh kekhawatiran, saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saat saya di Bangkok, hidup saya terasa sangat gelap. Dan saya yakin sangat banyak orang yang merasa seperti saya saat itu. Tapi sekarang, saya merasa sangat bebas, saya merasa sebagai orang yang unik, tak ada orang yang sama dengan saya, dan saya tidak perlu membuat diri saya seperti orang lain. Saya adalah yang nomor satu.

Saya merasa hidup saya sangat mudah, sangat ringan. Dan saya ingin orang-orang lain juga merasakan hal yang sama. Saya memulai membangun sebuah tempat bernama “Pun Pun” di Chiang Mai. Tujuan pertamanya adalah menyelamatkan bibit tanaman, karena saya percaya bahwa bibit adalah makanan, dan makanan adalah kehidupan.Jika tidak ada bibit, tidak ada kehidupan. Tidak ada bibit, tidak ada kebebasan. Tidak ada bibit, tidak ada kebahagiaan; hidup kita jadi tergantung kepada orang lain, karena kita tidak mempunyai makanan. Demikian pentingnya penyelamatan bibit ini, maka ia menjadi hal yang paling utama di Pun Pun.

Hal kedua yang kami lakukan adalah membuat Pun Pun sebagai pusat pembelajaran dan penelitian. Kami ingin punya tempat untuk kami mempelajari, bagaimana membuat hidup ini mudah, karena selama ini kita diajari hal-hal yang sulit dan kompleks sepanjang waktu.

Kami mulai belajar bagaimana membuat hidup menjadi lebih mudah, dan lebih mudah lagi. Kami juga mulai belajar untuk bersama-sama. Selama ini kita diajarkan untuk menjadi individualis, dan hanya berkiblat kepada uang semata. Kita jarang diajar untuk peduli satu sama lain. Namun sekarang, kita harus kembali, membangun kepedulian satu sama lain lagi, agar hidup bisa lebih mudah, dan kita bisa menjalaninya dengan bahagia.

Untuk membuat hidup menjadi mudah, empat hal utama yaitu makanan, rumah, pakaian, dan kesehatan haruslah dibuat murah dan mudah dimiliki oleh semua orang. Itulah mungkin yang disebut peradaban. Apa yang kita saksikan sekarang adalah sebaliknya, keempat hal itu sangat mahal dan sangat susah untuk dimiliki. Jadi sekarang sebenarnya adalah kehidupan yang paling tidak beradab di bumi ini menurut saya.

Kita memiliki banyak sarjana, banyak universitas ternama, dan dari tahun ke tahun semakin banyak dihasilkan orang-orang pintar. Tapi hidup semakin hari terasa semakin berat dan semakin susah. Setiap orang bekerja makin keras, makin banyak, untuk siapa? Saya pikir ini tidak tepat, ini tidak normal. Untuk menjadi orang yang normal, sebenarnya kita bisa meniru hewan atau binatang. Burung-burung bisa membuat sarang dalam satu atau dua hari. Tikus membuat lubang untuk rumahnya hanya dalam semalam. Tapi orang-orang pintar seperti kita memerlukan 20 tahun untuk memiliki sebuah rumah, bahkan banyak orang pada akhirnya tidak sempat memiliki rumah seumur hidupnya. Jadi ini tidak masuk akal.

Saya sendiri sudah cukup untuk hidup dengan cara-cara yang tidak normal seperti bekerja demikian keras, individualistis, untuk siapa semua itu? Saya mulai mencoba untuk hidup “normal” yang mendekati kehidupan binatang itu. Tapi orang-orang menganggap saya orang yang tidak normal, seperti orang gila. Saya tidak peduli, karena itu bukan salah saya. Itu hak mereka berpikir seperti itu. Fokus saya sekarang, bagaimana mebuat hidup saya mudah dan ringan.

Untuk Anda semua, sekarang pilihannya hanya dua, membuat hidup ini mudah atau susah. Pilihan Anda tergantung diri Anda sendiri.

Terima kasih

*) Diterjemahkan secara bebas dari pemaparan Jon Jandai, seorang petani Thailand dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh TEDx.