Pemborong, Sebuah Kesalahan Memilih Profesi

Di sebuah sore di awal 2004, saya mendapat telpon dari seseorang yang ingin membangun rumah di daerah Kepaon, Denpasar Selatan. Ia mendapatkan nomor telpon saya melalui iklan yang saya pasang di koran Denpost. Kami janjian bertemu. Saya mengarahkan agar kami bisa bertemu di sekitar Denpasar, namun orang itu meminta agar bisa bertemu di rumah saya. Mungkin tujuannya untuk mengetahui kredibilitas saya, takut kalau-kalau saya penipu, hehe….

Pada waktu yang ditentukan, orang itu berhasil tiba di depan gang rumah saya setelah bertanya sana-sini, karena rumah saya memang berlokasi di sebuah gang kecil yang waktu itu masih ditumbuhi beberapa pohon besar di kanan kirinya. Ternyata ia tidak datang sendiri. Ia mengajak temannya yang seorang bule. Saya sedikit kebingungan, karena di rumah saya masih berantakan. Belum ada tempat duduk, dan lantai keramiknya banyak yang terkelupas, belum diflafond, dan tanpa pagar pula. Setelah berpikir sejenak, saya memutuskan untuk mengajak orang itu dan temannya masuk rumah pertama di gang saya yang saat itu kebetulan gerbangnya terbuka. Kami bertiga duduk di teras yang berkeramik, setelah permisi dengan berbisik kepada sang pemilik rumah.

Orang itu berasal dari Jawa Barat dan bekerja di Airport Ngurah Rai. Ia memiliki tanah kavling seluas satu are di Kepaon, dan teman bulenya yang belakangan saya tahu berasal dari Australia akan membuatkannya sebuah rumah di tanah itu. Mereka berniat membangun rumah type 36 tapi dengan beberapa perubahan desain serta menggunakan bahan dengan kualitas lebih bagus agar sedikit sesuai dengan standar bule itu, yang jika ke Bali nantinya akan tinggal di sana. Setelah berbincang agak lama, saya memberikan penawaran dan mereka ingin mempelajarinya terlebih dahulu. Kami bersepakat untuk bertemu tiga hari setelahnya.

Senja hari tiba. Matahari mulai redup dan menghilang perlahan di balik cakrawala. Deru angin muson Barat terdengar jelas dari cabang dan ranting lamtoro yang tumbuh tinggi mengitari rumah saya. Saya menutup pintu dan jendela yang tak bertirai. Titik air mulai menetes dari sela-sela genteng yang retak. Saya mengambil ember dan menaruhnya di lantai untuk menangkap tetesannya yang semakin lama sepertinya semakin deras. Istri saya menyiapkan makan malam seadanya, dan kami makan bersama.

Malam semakin larut. Tanpa sadar jarum jam sudah menunjuk angka 12. Saya berpindah duduk, karena tetesan air mulai terasa membasah di rambut saya. Saya masuk kamar dan memandangi istri dan kedua anak saya yang sudah tertidur pulas. Saya tercenung. Baru kali ini saya benar-benar sadar bahwa hidup saya dan keluarga sudah benar-benar parah. Saya baru menyesal mengapa saya meninggalkan pekerjaan hotel saya, yang seharusnya bisa membuat saya hidup mapan seperti beberapa teman saya. Saya telah membawa dan membiarkan keluarga saya terseret dalam pusaran utang yang tak kelihatan ujung dan pangkalnya.

Tiba-tiba saya teringat buku usang yang saya dapatkan di Legian tempo hari. Saya mengeluarkannya dari almari buku dan mencoba membacanya dengan penerangan sinar lilin, karena listrik sudah padam sejak tadi sore. Dan di tengah kalutnya pikiran saya, mata saya tertuju pada sebuah baris yang selama ini mungkin selalu terlewatkan. “Apakah Anda menyukai pekerjaan Anda?” demikian kira-kira terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.

Saya membacanya berulang-ulang seakan tak percaya. Ya, apakah saya menyukai pekerjaan saya? Apakah saya menyukai pekerjaan saya saat ini sebagai pemborong bangunan? Terdengar lolongan anjing di kejauhan. Saya mengambil selimut dan menutupi badan saya yang mulai terasa dingin. Apakah saya menyukai pekerjaan saya? Pertanyaan dari buku usang itu kembali menggema. Rupanya saya belum bisa menjawabnya dengan segera.

Saya melanjutkan membaca, dan akhirnya menemukan cara mengujinya. “Apakah Anda sering lupa waktu, jika sedang berada di tengah-tengah pekerjaan Anda? Apakah Anda sering sampai lupa makan karena keasyikan mengerjakan pekerjaan Anda? Jika jawaban Anda ya, maka Anda berada di jalur yang tepat,” demikian lanjutan kalimat itu, masih di paragraf yang sama. Saya mulai menanyai diri saya, dan sepertinya bisa menemukan jawabannya dengan cepat. Saya selalu merasa tidak nyaman ketika berada di proyek yang saya bangun. Apalagi saat beberapa tukang saya minta kas bon dan saya tidak memegang uang sepeserpun, saya ingin segera lari sejauhnya, hehe.…

Kokok ayam mulai terdengar dari pohon waru di depan rumah saya. Beberapa ayam tetangga memang tidur di sana. Entah mengapa tumben saya belum mengantuk, padahal sudah hampir jam 2 pagi. Deru angin sudah mulai berkurang dan hujan sepertinya sudah benar-benar reda, sementara listrik belum menyala juga. Saya melanjutkan membaca dan tak lupa mencatat di notes kecil yang selalu saya bawa ke mana-mana. “Sekarang bayangkan kalau Anda mempunyai uang sebanyaknya sehingga Anda bisa membeli apa saja yang Anda inginkan. Apakah Anda masih akan mengerjakan pekerjaan Anda yang saat ini?” demikian bunyi kalimat di paragraf selanjutnya.“ Jika ya, berarti Anda berada di jalur yang tepat.”

Saya menanyai diri saya lagi, dan tak perlu menunggu lama, saya segera jawab tidak. Saya senang melihat orang mendirikan bangunan dan merubah tanah kosong menjadi tempat tinggal yang indah dan nyaman, namun untuk menjadi pengusaha dan mendapatkan uang serta hidup dari usaha pemborong bangunan tidak pernah sekalipun menjadi impian saya.

Fajar mulai menyingsing. Saya meniup lilin dan merebahkan diri di atas tikar pandan yang saya duduki. Saya mencoba memejamkan mata, namun pikiran saya masih melayang. Saya mulai menimang-nimang pekerjaan apa yang akan memberikan jawaban ya atas ketiga pertanyaan di atas. Tiba-tiba saya teringat teman bule orang yang datang kemarin siang.

Bersambung……

Author: I Wayan Suada

A simple, unique, and independent person. I like reading to know more about the world, and I like writing to share my vision about life.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *