Apakah Agama Penting?

Karena merasa sudah sedikit akrab, beberapa waktu lalu saya bertanya kepada seorang tamu bule saya, yang kebetulan tinggal di Bali agak lama.

“Apa agama Anda, Mister?” tanya saya.

“Inovasi.”

“Agama inovasi?”

“Bukan. Inovasi kira-kira berarti  pengembangan pengetahuan dan kreativitas yang bisa membuat hidup dan kehidupan kita menjadi lebih baik daripada sebelumnya.” katanya.

“Oh, jadi kamu tidak mengikuti salah satu agama yang sudah ada seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, atau yang lainnya?”

“Tidak.”

“Kenapa begitu?”

“Karena menurut saya, semua agama yang kamu sebutkan itu hanya berkutat pada dogma-dogma yang disampaikan secara turun temurun. Dogma yang menciptakan ketakutan dan kepatuhan absolut tanpa memberikan kebebasan berfikir kepada pemeluknya.”

“Agama hanya membuat kita merasa benar sendiri dan yang lain dianggap pasti salah; atau membuat kita selalu merasa lebih baik daripada pemeluk agama yang lain.”

“Agama hanya membuat kita semakin bodoh dan tidak mampu berinovasi, karena kita selalu terpaku dengan dalil-dalil atau aturan-aturan yang tertulis di kitab-kitab, atau terkadang didalilkan oleh orang-orang yang kita anggap sebagai para pemuka agama.”

“Semakin tinggi kepatuhan kita terhadap agama atau kepercayaan yang kita anut, maka semakin terpasunglah kebebasan berfikir kita, semakin sedikit pula peluang menumbuhkan inovasi-inovasi baru. Karena kebebasan berfikir kita terpasung, akan membuat kita semakin bodoh dan pada gilirannya akan membuat kita hidup dalam kemiskinan. Bagaimanapun cepat atau lambat, kebodohan akan menciptakan kemiskinan.”

“Kamu bisa perhatikan di mana saja, baik di Indonesia sendiri atau di negara lain, apabila agama dipraktekkan dengan absolut oleh para pemeluknya, maka mereka akan terjerat oleh kebodohan dan kemiskinan. Bahkan tidak jarang mereka berperang satu sama lain, karena sama-sama ngotot merasa paling benar sendiri.”

“Jadi dengan kata lain, agama tidak penting kan menurut kamu?” tanya saya.

“Bukan hanya tidak penting. Terkadang agama menjadi sumber petaka bagi manusia. Jadi kalau kita tidak mau bodoh dan miskin, atau bahkan berperang satu sama lain, menurut saya tidak usah beragama. Atau kalaupun beragama, tetaplah beragama secara kritis. Berikanlah ruang untuk kebebasan berfikir dan berinovasi. Selalu telaah dalam-dalam apa yang tertulis di kitab-kitab dan yang didalilkan oleh para pemuka agama, apakah sesuai dengan kata hati kita dan akan bisa membuat hidup dan kehidupan kita menjadi lebih baik daripada sebelumnya.”

Tanpa terasa, sore menjelang. Sang Mentari sudah hampir masuk ke peraduannya. Saya berkemas meninggalkan kursi pantai yang hampir dua jam saya duduki. Saya tidak mengatakan setuju atau tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh tamu saya. Saya biarkan pikiran saya terbang bebas bagai camar yang melayang di antara keindahan sore pantai Kuta…….

Kenapa Bapak Tidak Kaya?

Dalam perjalanan ke Batungsel, Pupuan hari Minggu malam lalu, aku berdebat dengan Yogi, anak tertuaku.

Yogi : “Kenapa Bapak tidak kaya?”

Saya : “Karena tidak pingin.”

Yogi : “Kenapa tidak pingin? Bukankah kalau kita kaya, kita bisa hidup enak? Bisa tour kemana dan kapan saja kita suka? Makan apa saja yang kita inginkan? Membeli mobil bagus? Tinggal di rumah mewah? Atau membantu orang agar mendapat banyak pahala?

Saya : “Ya, Bapak memang tidak terlalu menginginkan semua itu, dan sudah cukup nyaman dengan keadaan Bapak saat ini.”

Yogi : “Wah, Bapak memiliki mindset yang salah tentang kekayaan. Dalam buku-buku motivasi yang Yogi baca, semua mengulas tentang kesalahan pola pikir kita tentang kekayaan.”

Saya : “Bapak sudah baca hampir sebagian besar buku-buku itu.”

Yogi : ”Terus, kenapa Bapak tidak menerapkannya?”

Saya : “Bapak memiliki konsep yang berbeda tentang hidup dan kekayaan.”

Yogi : “Bedanya bagaimana?”

Saya : “Penjelasannya panjang, dan belum cocok dijelaskan untuk anak seumuran kamu.”

Yogi : “Jadi?”

Saya : “Sementara hiduplah sewajarnya seperti teman-temanmu. Belajar sebaik-baiknya dan gantungkan cita-citamu setinggi-tingginya. Jika saatnya tiba, kamu akan menemukan sendiri penjelasannya.  

Eternal Freedom atau Kebebasan Abadi

Sebagian besar dari kita, termasuk penulis juga, sangat sulit menjawab pertanyaan ini sebelumnya. Hanya beberapa orang atau orang tertentu saja yang bisa mendefinisikan tujuan hidupnya dengan jelas sejak awal. Beberapa yang lainnya, mungkin termasuk anda, sedang berusaha mengungkapkannya, dan selebihnya tak peduli sama sekali.

Jika saat ini perasaan anda sedang galau, pikiran anda kacau balau, utang menumpuk dan segera jatuh tempo, istri atau suami marah-marah, anak mengunci pintu minta dibelikan motor baru, maka ada baiknya anda duduk sebentar, tarik nafas, dan mulai tanya diri anda, mengapa anda harus menghadapai semua masalah ini setiap hari.

Biasanya kita tidak bisa menjawab pertanyaan ini segera, karena ini memang pertanyaan yang sulit dijawab. Tapi meskipun sulit, pertanyaan ini harus kita carikan jawabannya.

Tujuan hidup setiap makhluk sebenarnya adalah kebebasan abadi, yaitu terlepasnya kita dari hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian, hal-hal yang bersifat duniawi. Beberapa hal duniawi itu diantaranya : rasa senang, sedih, rasa sakit, keinginan memiliki sesuatu, keinginan menguasai, lapar, haus, puas, dan lain sebagainya.

Anda boleh tidak setuju dengan pernyataan ini, tapi penulis yakin, semakin lama anda berusaha merumuskan tujuan hidup anda, maka anda akan semakin memberikan persetujuan anda akan hal ini. Kebebasan abadi adalah api kedamaian yang tak pernah padam. Ia selalu ada dan tersedia untuk siapa saja yang mau dan ingin mencapainya.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, apakah kita mungkin mencapainya dalam hidup kita ini? Kalau mungkin, bagaimana caranya? Apa yang harus kita lakukan untuk menuju ke sana? Mari kita sama-sama belajar dan saling mengisi, hingga suatu ketika nanti, kebebasan abadi itu bisa kita raih bersama.

catatan : Judul post diganti dari “Apakah Tujuan Hidup Anda?”

Memaafkan, Kenapa Tidak?

Kadang kala, karena pernah dikecewakan atau disakiti, kita menjadi sangat benci kepada seseorang. Tak peduli siapa orang itu. Bisa saudara, teman, istri, suami, mantan pacar, orang tua atau bahkan anak sendiri bisa membuat kita benci setengah mati. Tidak salah memang, karena benci adalah manusiawi. Tapi, apakah perasaan benci ini ada untungnya untuk kita?

Kebencian, dalam semua bentuknya tidak pernah membawa keuntungan. Yang dibawanya hanyalah kerugian yang sebenarnya tidak perlu. Kerugian yang pasti adalah tersitanya energi dan pikiran kita untuk ‘memelihara’ perasaan benci tersebut. Kebencian adalah ibarat tanaman yang tumbuh di dalam pot. Jika kita rajin menyiram dan memupuknya, ia akan cepat menjadi besar dan subur.

Energi yang kita gunakan untuk memupuk dan menyiram kebencian kita adalah energi negatif. Jika kita terus menggunakan energi ini, darah kita akan segera menjadi kotor. Pada gilirannya, semua organ tubuh kita akan mengalami gangguan dan mulai menimbulkan penyakit yang walau pada awalnya tidak kita sadari dan tidak kelihatan dari luar. Yang paling cepat terserang adalah organ ginjal dan hati kita, karena mereka bekerja keras menyaring atau menetralisir darah kotor kita menjadi bersih kembali.

Perasaan benci juga membuat kita sulit tidur serta tidak enak makan. Dua hal ini juga akan segera menyebabkan gangguan kesehatan kepada kita. Kurang tidur menyebabkan konsentrasi terganggu, kelelahan, dan stress; sedangkan tidak enak makan akan menyebabkan penyakit maag, karena lambung kita lebih sering kosong. Kita lebih baik mencegah semua penyakit-penyakit itu sebelum sempat menyerang kita. Bunuh raksasa selagi ia masih kecil.

Lantas, bagaimana menghilangkan rasa benci itu? Kembali ke tanaman dalam pot tadi. Jika kita tidak memupuk dan tidak menyiramnya, dalam waktu singkat pohon dalam pot itu akan layu dan mati dengan sendirinya. Maka, setiap perasaan benci itu timbul, segera ingatkan pikiran kita bahwa ia tidak berguna, dan tak usah disiram serta dipupuk. Jika mungkin, cabut segera dan buang jauh-jauh bagai rumput liar yang mengganggu tanaman utama kita.

Mudah diucapkan, bukan? Ya. Tapi melaksanakannya sangatlah sulit apalagi kalau kita sudah terlanjur terbakar oleh api kebencian kita. Kita memerlukan latihan yang teratur serta waktu yang lama untuk membuang kebencian itu dari pikiran kita. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah ‘belajar memaafkan.’ Bagaimana caranya?

Pertama, mulailah berimajinasi. Bayangkan kalau kita adalah orang yang kita benci itu. Kalau kita menjadi dia, apakah kita juga melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan kepada kita. Kalau jawabannya ya, maka kita akan tahu mengapa ia melakukan hal itu kepada kita. Banyak hal yang menyebabkan orang lain berlaku tidak baik kepada kita. Beberapa diantaranya disebabkan oleh kita sendiri, kesombongan kita, ucapan-ucapan kita, atau tingkah laku kita lainnya.

Kedua, sadari bahwa apa yang terjadi pada kita adalah hal yang memang harus terjadi pada kita saat itu. Kita tak bisa menyalahkan orang lain atas apa yang kita alami. Alam memang telah mengatur hal-hal yang harus terjadi pada kita pada saatnya yang tepat. Kita harus bisa menerimanya, tanpa harus menyalahkan orang lain, maupun diri kita sendiri.

Ketiga, coba ambil sisi baik dari apa yang terjadi pada kita yang menurut kita disebabkan oleh orang yang kita benci itu. Misalnya kita selalu dimarahi oleh ibu tiri kita. Sisi baiknya adalah kita akan menjadi lebih dewasa dan lebih bisa mandiri. Kalau kita diputusin oleh pacar kita, sisi baiknya mungkin agar kita bisa punya pengalaman dengan orang lain selain dirinya, yang mungkin saja lebih baik dari dia.

Keempat, kita harus menyadari bahwa kita tidak bisa mengubah pikiran orang lain agar sama dengan pikiran kita, walaupun orang lain itu adalah anak kita sendiri misalnya. Setiap manusia membawa pikirannya masing-masing. Memaksakan pikiran kita agar diikuti oleh orang lain, hanya akan membuat kita kecewa dan benci pada akhirnya.

Kelima, mulai doakan orang yang kita benci itu agar mendapatkan keselamatan dan hidup yang lebih baik. Doakan pula agar ia menyadari kekeliruannya dan agar Tuhan memaafkan kesalahannya.

Bagaimana kita bisa tahu kalau kita sudah berhasil memaafkan secara tulus dan sepenuh hati? Kita bisa mengujinya dalam hati kita. Jika hati kita sudah terasa damai, dan perut kita terasa lega, maka dapat dipastikan kita telah berhasil memaafkan orang yang kita benci itu. Jika ia mulai tumbuh lagi, segera lakukan kembali langkah-langkah di atas, dan usir perasaan benci secepatnya dari pikiran dan perasaan kita. Ingatlah selalu bahwa “memaafkan adalah memang obat yang paling mujarab.”